Isnin, 30 Mac 2009

Muhammad Nafis Al Banjari


Dalam deretan ulama Banjar, nama Muhammad Nafis al-Banjari tak kalah masyhur dibanding Muhammad Arsyad al-Banjari. Kalau Muhammad Arsyad dikenal sebagai ahli syariat, maka Muhammad Nafis dikenal sebagai pakar ilmu kalam dan tasawuf. Dengan keilmuannya, ia berhasil menorehkan prestasi sebagai salah seorang ulama terkemuka Nusantara.

Dialah pengarang “Durr Al-Nafis”, kitab berbahasa Jawi yang dicetak berulang-ulang di Timur Tengah dan Nusantara, yang masih dibaca sampai sekarang. Dia berada dalam urutan kedua setelah Muhammad Arsyad Al-Banjari dari segi pengaruhnya atas kaum muslimin di Kalimantan. Apa yang yang harus dilakukan kaum muslimin agar memperoleh kemajuan dalam hidup? Mengapa Belanda melarang kitabnya beredar di Indonesia?

Syeikh Muhammad Nafis Al-Banjari bin Idris bin Husien, lahir sekitar tahun 1148 H./1735 M.,di Kota Martapura Kalimantan Selatan, dari keluarga bangsawan atau kesultanan Banjar, silsilah dan keturunanya bersambung hingga Sultan Suriansyah (1527-1545 M.) Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam sebelumnya bernama Pangeran Samudera.

Silsilah lengkapnya adalah: Muhammad Nafis bin Idris bin Husien bin Ratu Kasuma Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Tahlillah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah. Muhammad Nafis hidup pada periode sama dengan Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Jika Arsyad meninggal tahun 1227/1812, Nafis belum diketahui tahun wafatnya. Yang kita ketahui, peristirahatan terakhir beliau di Mahar Kuning Desa Bintaru, sekarang menjadi bagian Kelua Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan, sekitar 125 kilometer dari Banjarmasin. Tidak ada catatan pasti tahun pergi menuntut ilmu ke tanah suci Makkah. Diperkirakan ia pergi menimba ilmu pada usia dini sangat muda, sesudah mendapat pendidikan dasar-dasar agama Islam di kota kelahirannya Martapura.

Sebagian ahli berpendapat, masa belajar Muhammad Nafis tak jauh dari masa Muhammad Arsyad al-Banjari. Bahkan, para masyasyikh-nya juga kebanyakan sama, yakni Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani, Muhammad al-Jauhari, Abdullah bin Hijazi al-Syarqawi al-Mishry (syekh al-Azhar sejak 1207 H/ 1794 M), Muhammad Shiddiq bin Umar Khan (murid al-Sammani) dan Abdurrahman bin Abdul Aziz al-Maghribi.

Dari para gurunya itu, Muhammad Nafis banyak belajar tasawuf. Sekian lama ia mematangkan pengetahuan dan lelaku tasawufnya sampai ia diberi gelar kehormatan “Syekh Mursyid.” Dengan gelar itu, ia beroleh ijazah untuk mengajarkan dan membimbing ilmu tasawuf kepada orang lain. Pencapaian itu tentunya tak mudah dan instan, tapi membutuhkan waktu latihan dan perenungan yang sangat lama.

Sekian lama berada di Mekkah, ia akhirnya kembali ke Nusantara, diperkirakan pada 1210 H/1795. Saat itu, yang memerintah di Banjar adalah Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M). Tapi, karena Nafis tak suka dekat dengan kekuasaan, ia memilih meninggalkan Banjar dan berhijrah ke Pakulat, Kelua, sebuah daerah yang terletak sekitar 125 km dari Banjarmasin. Alasan lain adalah perkembangan Islam di daerah sekitar Martapura dan Banjar sudah ditangani oleh Syekh Muhammad Arsyad.

Sedang daerah Kelua, termasuk daerah pedalaman, masih belum terjangkau oleh dakwah Islamiyah ulama Banjar. Dengan gigih, Muhammad Nafis mengenalkan Islam di sana. Berkat kegigihannya, daerah itu kemudian menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Kalimantan Selatan. Juga menjadi daerah yang turut melahirkan para pejuang anti-Belanda.

Dalam berdakwah, Muhammad Nafis dikenal sebagai sosok pengembang tasawuf yang andal. Meski di Banjar saat itu terjadi pertentangan antara kubu Muhammad Arsyad dengan Syekh Abdul Hamid Abulung yang didakwa sebagai pengembang wujudiyyah, dakwah tasawuf ala Muhammad Nafis berlangsung dengan lancar dan damai. Ini tak lepas dari corak tasawuf yang diusungnya, yakni “merukunkan” tasawuf sunni dan falsafi yang diposisikan secara diametral.

Ia juga tampak tak terikat dengan satu tarekat secara total. Shingga, menurut pengakuannya sendiri, ia adalah pengikut tarekat Qadariyah, Syathariyah, Naqsabandiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah. Keikutsertaan Muhammad Nafis dalam ragam tarekat Mu’tabarah itu seolah menunjukkan bahwa suluk menuju Tuhan bisa dilakukan lewat berbagai jalan, tak hanya mengandalkan satu jalan saja. Juga menunjukkan betapa pengetahuan tasawuf Muhammad Nafis sangatlah mendalam.

Ciri khas ajaran tasawuf Muhammad Nafis adalah semangat aktivisme yang kuat, bukan sikap pasrah. Ia dengan gamblang menekankan transendensi mutlak dan keesaan Tuhan sembari menolak determinisme fatalistik yang bertentangan dengan kehendak bebas. Menurutnya, kaum muslim harus aktif berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik, bukan hanya berdiam diri dan pasrah pada nasib.

Sebab itulah, ajaran tasawuf ala Muhammad Nafis turut membangkitkan semangat masyarakat Banjar untuk berjuang lepas dari penjajah. Malah, konon, setelah membaca kitab karangannya, orang menjadi tak takut mati. Situasi ini jelas membahayakan Belanda karena akan mengobarkan jihad. Tak heran kalau kemudian berbagai intrik dilakukan oleh Belanda untuk menghentikan ajaran Muhammad Nafis, mulai dari kontroversi ajaran sampai pelarangan. Namun, dakwah Muhammad Nafis terus berlanjut sampai ia wafat.

Islamisasi di Kalimantan

Bebeda dengan Muhammad Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebarluasan Islam di wilayah pedalaman Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas, keluar-masuk hutan menyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.

Islam masuk Kalimantan Selatan lebih belakangan ketimbang misalnya, Sumatera Utara dan Aceh. Seperti diungkapkan Azra, diperkirakan pada awal abad ke-16 sudah ada sejumlah muslim di sini, tetapi Islam baru mencapai momentumnya setelah pasukan Kesultanan Demak datang ke Banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam perjuangannya melawan kalangan elite di Kerajaan Daha. Setelah kemenangannya, Pangeran Samudra beralih memeluk Islam pada sekitar tahun 936/1526, dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar. Dia diberi gelar Sultan Suriansyah atau Surian Allah oleh seorang da’i Arab.

Dengan berdirinya Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap sebagai agama resmi negara. Namun demikian, kaum muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya terbatas pada orang-orang Melayu. Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan di kalangan suku Dayak. Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar pengucapan dua kalimah syahadat. Di bawah para sultan yang turun-temurun hingga masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak ada upaya yang serius dari kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara intensif di kalangan penduduk Kalimantan. Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini pula yang memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan.

Daya Spiritual dan Kewajiban Syari’at

Tak banyak karya yang ditinggalkannya. Namun, karya-karyanya senantiasa menjadi rujukan, tak hanya bagi kaum muslim Nusantara, tapi juga mancanegara. Di antara kitabnya adalah al-Durr al-Nafs. Nama kitab “Durr Al-Nafis” sesungguhnya amatlah panjang. Lengkapnya, kitab yang ditulis di Makkah pada 1200/1785 ini: “Durr Al-Nafis fi Bayan Wahdat Al-Af’al Al-Asma’ wa Al-Shifat wa Al-Dzat Al-Taqdis”. Kitab ini berkali-kali dicetak di Kairo oleh Dar Al-Thaba’ah (1347/1928) dan oleh Musthafa Al-Halabi (1362/1943), di Makkah oleh Mathba’at Al-Karim Al-Islamiyah (1323/1905), dan di berbagai tempat di Nusantara. Kitab ini menggunakan bahasa Jawi, sehingga dapat dibaca oleh orang-orang yang tidak faham bahasa Arab.

Seperti diungkapkan Azyumardi Azra, dalam kitabnya itu, Muhammad Nafis dengan sadar berusaha mendamaikan tradisi Al-Ghazali dan tradisi Ibn ‘Arabi. Dalam karyanya ini, di samping menggunakan ajaran-ajaran lisan dari para gurunya, Nafis merujuk pada karya-karya “Futuhat Al-Makkiyah” dan “Fusushl-Hikam” dari Ibn ‘Arabi, “Hikam” (Ibn Atha’illah), “Insan Al-Kamil” (Al-Jilli), “Ihya’ ‘Ulumiddin” dan “Minhaj Al-‘Abidin (Al-Ghazali), “Risalat Al-Qusyairiyyah” (Al-Qusyairi), “Jawahir wa Al-Durar” (Al-Sya’rani), “Mukhtashar Al-Tuhfat al-Mursalah” (‘Abdullah bin Ibrahim Al-Murghani), dan “Manhat Al-Muhaammadiyah” karya Al-Sammani.

Kitab itu membicarakan sufisme dan tauhid, menjelaskan maqam-maqam perjalanan (suluk) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Al-Durr al-Nafs ditulis atas permintaan sahabat-sahabatnya ketika berada di Mekkah. Menurut penuturannya, ia menulis kitab itu untuk menyelamatkan para salik (perambah jalan Tuhan) dari syirik khafi dan penyakit riya’ yang umum menghinggapi umat muslim. Kitab itu ditulis dalam bahasa Melayu Arab untuk memudahkan umat membaca dan memahaminya. Karena mutu dan ajarannya yang tinggi, kitab itu dicetak berkali-kali, baik di dalam maupun luar negeri.

Sebagai penganjur aktivisme-sufistik, kontribusi Muhammad Nafis al-Banjari dalam membangun Islam di Banjar sangatlah besar. Tak aneh kalau kemudian ia diberi gelar Maulana al-Allamah al-Fahhamah al-Mursyid ila Tariq as-Salamah (Yang mulia, berilmu tinggi, terhormat, pembimbing ke jalan kebenaran) sebagai bentuk penghormatan masyarakat atas jasa-jasanya. Menimbang pencapaian dan prestasinya, gelar itu memang tak berlebihan baginya.

Bagi generasi muda masa kini, kita berharap saatnya untuk mengenang kembali, kemudian menghargai dan meneruskan cita-cita dan perjuangan Muhammad Nafis al-Banjari dalam konteks kekinian. Selain itu, menelusuri jejak-jejak sejarah beliau mampu merekatkan kembali jalinan psikologis dan spiritual dari sang ulama tersebut. Dari peran beliau kita dapat mengetahui akar-akar pemikiran, akar-akar perjuangan, serta pengaruh yang muncul dalam fenomena kebangsaan kita. Sehingga paparan ini dapat memberikan gambaran utuh mata rantai perjuangan tokoh-tokoh Islam dulu, kini dan esok.

Gambaran tersebut akan sangat berarti bagi individu-individu yang ingin mempelajari dan menelaah kembali jaringan ulama Kalimantan yang mempersembahkan dedikasi dan loyalitasnya untuk pembangunan bangsa

Selasa, 10 Mac 2009

Tok Pulau Manis

Tok Pulau Manis atau nama sebenarnya Syeikh Abdul Maalik dilahirkan Kampung Pauh, Hulu Terengganu pada tahun 1060H/1650M, berketurunan Sharif Mohammad, yang berasal dari Baghdad. Menerima pendidikan agama diperingkat awal dari kaum keluarganya sendiri.


Tok Pulau Manis kemudiannya belajar di Aceh yang digelar “Serambi Mekah. Adalah dipercayai beliau telah menerima pendidikan secara langsung dari ulama besar Acheh, Syeikh Abdul Rauf Singkel (1030-1050/1620-1693) yang juga seorang tokoh yang berusaha membawa kepada pengukuhan terhadap aliran al-Sunnah wal Jamaah di alam Melayu. Beliau telah menyalin kitab Tafsir Baydawi yang dikarang dalam Bahasa Melayu oleh Syeikh Abdul Rauf Singkel. Selanjutnya beliau menyambung pengajian di Mekah sekitar tahun 1680, ketika beliau dipercayai berumur 30 tahun.

Selama hampir satu dekad di Mekah, beliau telah berguru dengan ulama-ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim al-Kurani (1025-1011/1616-1690), yang juga menjadi guru kepada Syeikh Abdul Rauf Singkel, bersahabat dengan pelajar-pelajar yang seangkatan dan seperjuangan dengannya seperti Tuan Haji Mohd Salleh bin Omar al-Semarani dari Jawa, Dato Syed Abdullah dari Terengganu, Fakeh Abdul Kadir Palimbang, Fakeh Abdul Rahman Patani, Fakeh Abdul Samad Kedah dan Haji Mohamad Siantan dan mengajar apabila terdapat peluang berbuat demikian. Semasa berada di Mekah dan juga Madinah, Tok Pulau Manis telah memberi penumpuan kepada keilmuan tiga serangkai, iaitu ilmu-ilmu Fikah, Usuluddin dan Tasawuf disamping Tafsir, Hadis dan ilmu-ilmu bantu seperti nahu, saraf dan sebagainya.

Beliau mendalami Fikah al-Shafie dengan berguru kepada Syeikh Ibrahim al-Kurani yang telah menggantikan Ahmad Qushashi yang menjadi pengajar kepada pengikut Imam Shafie di sana. Bidang Usuluddin yang diikutinya pula adalah berdasarkan pendekatan Imam al-Asya’ari yang menjadi pegangan umum pengikut ahl-al Sunnah wal Jamaah, manakala bidang Tasawuf yang diceburinya pula adalah berdasarkan etika ubudiyah kepada pengajian Tasawuf.

Tok Pulau Manis memilih Tarekat Shazhiliyah yang diasaskan oleh Syeikh Abu al-Hasan al-Syazili (M. 656/1258) yang berasal dari Maghribi. Beliau berkenalan dengan tarekat ini menerusi pengajiannya iaitu melalui karangan pendukung utama dari kalangan generasi ketiga aliran sufi iaitu Ibnu ‘Athaillah (M. 709/1309). Tulisan yang menarik minatnya itu ialah Al-Hikam disamping al-Tanwir fi Isqat al-Tadbir, Lata’if al Minan dan Taj al-Arus.

Pengajaran al-Syazili dan Ibnu ‘Athaillah dianggap lanjutan dari pendekatan Tasawuf al-Imam al-Ghazali dan kitab Ihya ‘Ulumuddin menjadi kitab penting bagi pengajaran bagi Syeikh Abu al-Hassan al-Syazili dan pendokong-pendokongnya. Sebagai seorang yang kesedaran tentang peri pentingnya mendalami ilmu Syariat disamping Usuluddin sebagai asas mendalami ilmu Tasawuf, Syeikh Abdul Malik sendiri, sebelum pemergiannya ke Tanah Suci sudah pun mendalami beberapa bidang ilmu tersebut.

Ilmuan yang menjadi rujukannya berjumlah tidak kurang dari 143 orang, diantara yang terpenting di kalangan mereka itu ialah Ibn ‘Athaillah dan Abu al-Hasan al-Syazili sendiri, Abu al-Abbas al-Mursi, Ibn Arabi, Abu Hafs Umar bin Muhammad bin Abd Allah al-Suhrawardi, Abu Turab al-Khashabi, Abu Yazid al-Bistami, Abu Talib al-Makki, Abu Hamid al-Gahzali, Abu al-Qasim al-Nasr Abadhi, Abu Bakar al-Shibli, Abu Nasr al-Sarrj, Ahmad al-Rifa’i, Ahmad Ibn Hanbal, iBn Abbad, Hassan Basari, Junayd al Baghdadi, Ahmad Zarruq, Shal bin Abdullah, Sirri al-Suqti, al-Sha’rani, Abd al-Salam bin Mashish dan Ma’ruf al-Karkhi. Selain itu, beliau juga banyak merujuk kitab Fusus al-Hikam oleh Ibnu Arabi, Qut al-Qulub oleh Abu Talib al-Makki, karya-karya al-Ghazali seperti Ihya Ulumuddin dan Minhaj al-Abidin, al-Luma oleh Abu Nasar al-Sarraaj al-Tusi, alRi’ayat Li Huquq Allah dan Amal al-Qulub wa al-Jawarib oleh al-Harith al Mushasibi, Sharh terhadap Hikam berjudul Hikam Ibn ‘Athaillah atau Qurrat al-Ayn oleh Ahmad Zarruq dan Halat Ahl al Haqiqat Ma’a Allah oleh Ahmad al-Rifa’i.

Peranan Syeikh Abdul Malik sebagai pengajar di Mekah menyerupai penglibatan sebahagian penting ulama-ulama lain dari seluruh dunia yang menjadikan Tanah Suci sebagai pusat pendidikan. Pelajar-pelajar yang menjadi tumpuan beliau adalah mereka yang datang dari Tanah Jawi. Kedudukan Syeikh Abdul Malik di sini mempunyai persamaan dengan kedudukan ulama-ulama Jawi yang lain seperti Syeikh Daud bin Abdullah Fatani, Syeikh Abdul Samad Palimbang, Syeikh Mohamad Nawawi al-Bentani dan Syeikh Mohamad Khatib bi Abdul Latif Minangkabau. Sebagai guru yang amat meminati Tasawuf beraliran etika Ubudiyah yang diperolehi oleh Imam al-Ghazali, beliau juga memilih mengajar dengan menggunakan karangan-karangan yang menjadikan hasil karya Hujjatul Islam itu. Kitab-kitab yang dimaksudkan itu termasuklah Ihya Ulumuddin. Matan Hikam Ibnu Ata’ul-Lah yang dianggap sebagai lanjutan dari pendekatan etika Ubudiyyah al-Imam al-Ghazali juga ternyata mendapat perhatian istimewa dari Syeikh Abdul Malik. Minat Syeikh Abdul Malik terhadap Matan Hikam diperkukuhkan lagi oleh permintaan sahabat-sahabatnya seperti terjelas dalam Hikam melayunya :

(Dan) sanya telah meminta akan daku setengah saudaraku yang salik bahawa menterjemakan aku akan dia dengan bahasa Jawi supaya memberi manfaat dengan dia segala orang yang mubtadi, maka ku perkenankan atas yang demikina itu dengan sekira-kira yang difahamkan Allah Taala akan daku (dan) adalah au memanjangkan sedikit perkataannya kerana aku memasukkan perkataan sharahnya dengan sekadar kifayah bagi orang mubtadi mengetahui dia......?.

Karangan di atas menunjukkan bahawa sahabat-sahabatnya di Mekah telah memintanya mengarang, sesuatu yang mencerminkan martabat kedudukannya di kalangan kawan-kawannya. Dengan penulisan tersebut Hikam Melayu merupakan sebuah kitab Tasawuf terbesar dan terawal menurut aliran ahli Sunnah wal-Jamaah di dalam Bahasa Melayu.
Adalah dipercayai bahawa Syeikh Abdul Malik pulang ke tanah air sekitar pertengahan tahun 1960an ketika berusia lebih kurang 40 tahun. Kehadirannya di dalam masyarakat tempatan, yang diperkukuhkan oleh Hikam Melayunya serta pertalian dengan pembesar tempatan di Negeri Terengganu. Malah disebabkan oleh pertalian Terengganu dengan Johor, peranan Syeikh Abdul Malik menjadi lebih penting lagi dalam kontek perkembangan sosial semasa. Mengikut sumber-sumber yang boleh dipercayai beliau dikatakan bertanggungjawab membawa dan menabalkan Zainal Abidin I menjadi sultan pemerintah Negeri Terengganu (1725-1734) yang berlangsung di Tanjung Baru. Raja tersebut juga telah berkahwin dengan anak perempuan Syeikh Abdul Malik. Apabila Syeikh Abdul Malik berpindah dari Hulu Terengganu dan menetap di Pulau Manis baginda juga telah turut sama berpindah dan menetap tempat yang baru sebelum memilih tempat persemayam tetapnya di Kuala Terengganu.

Tok Pulau Manis menjadi peneraju program pendidikan agama di Terengganu, sama ada selaku ulama istana atau sebagai guru kepada orang ramai. Di istana, Tok Pulau Manis berdampingan bukan sahaja dengan Sultan Zainal Abidin I tetapi juga dengan pembesar-pembesar yang turut berguru dengannya. Di dalam upacara keagamaan, beliau diberi peranan mengetuai majlis-majlis tersebut. Dalam penglibatannya sebagai Syeikh al-Ulama dan Mufti beliau mengeluar fatwa-fatwa berhubung dengan pegangan keIslaman dan hukum hakam. Dengan berpandukan pengalaman pengajian di Jawa, Aceh dan Mekah, beliau telah menjadikan Pulau Manis sebagai tempat pengajaran dan ibadat yang didatangi oleh pelajar-pelajar dari jauh dan dekat. Adapun kitab beliau yang kedua terbesar selepas Hikam Melayu, iaitu Kitab Kifayah merupakan sebuah karya yang merangkumi Usuluddin dan Fekah.

Tok Pulau Manis meninggal dalam lingkungan usia 86 tahun iaitu pada tahun 1149H bersamaan 1736M sebagaimana yang terakam pada makamnya.

Ahad, 1 Februari 2009

Syeikh Muhammad Said Linggi

Mursyid Thariqat Ahmadiyah

ASAL usul selain nasab ke atas sebelah lelaki yang berasal dari Hadhralmaut, dapat dipecahkan lagi bahawa datuknya, Haji Idris itu berkahwin dengan Hajah Rahimah binti Khatib Musa bin Amaluddin bin Awaluddin. Dalam Kanzul Mu`id tertulis bahawa Awaluddin dimasyhurkan dengan Dato' Awal anak Faqih yang dimasyhurkan dengan Daeng Abdul Malik. Bahawa keturunan ini ada hubungan dengan Daeng Kemboja, yang dimasyhurkan dengan Marhum Janggut Yamtuan Muda Riau. Marhum Janggut pula adalah putera Upu Daeng Perani.
Hajah Rahimah (nenek Syeikh Muhammad Said) tersebut ibunya bernama Zulaikha binti Dato' Karkung berasal dari Minangkabau, termasuk kerabat ulama besar bernama Syeikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi al-Minankabawi, penyusun kitab Kifayatul Ghulam.
Ibunya bernama Hajah Shafiyah binti Haji Muhammad Shalih al-Fathani (meninggal dunia pada 12 Rabiulakhir 1352 Hijrah). Ayah kepada ibunya ini adalah seorang ulama Patani yang mempunyai murid yang ramai. Neneknya (ibu kepada ibunya) bernama Hajah Maryam, beliau adalah keturunan Syeikh Abdur Rasyid al-Fathani, satu-satunya ulama Melayu yang pernah mengajar di Masjidil Aqsa.
PENDIDIKAN
Ketika mengikuti pengajian sistem pondok di Patani, Muhammad Said berguru kepada ulama terkenal, iaitu Syeikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani (Tuan Minal), pengarang pelbagai kitab Melayu/Jawi. Guru-gurunya yang lain ialah Tok Nahu, Syeikh Muhammad Nuh Kedah, Tok Semela dan lain-lain. Semua ulama yang tersebut adalah murid pula kepada datuknya, Syeikh Abdur Rasyid.
Sewaktu berusia 17 tahun, beliau berangkat ke Mekah untuk melanjutkan pelajarannya. Guru-gurunya di Mekah yang tersebut dalam Kanzul Mu`id sangat ramai, di antaranya yang berasal dari dunia Melayu ialah: Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi, Syeikh Zainuddin as-Sumbawi, Syeikh Wan Ali al-Kalantani dan Syeikh Ahmad al-Fathani.
Di Madinah, Muhammad Said pernah belajar kepada Sayid Jaafar al-Barzanji, Mufti Mazhab Syafie di Madinah al-Munawwarah. Beliau pernah pula mengembara memperdalam ilmu ke Mesir. Di sana beliau sempat belajar kepada Syeikh Syamsuddin al-Anbaby, Syeikh al-Azhar pada zaman itu. Juga beliau belajar kepada Syeikh Ahmad ar-Rifa'ie, ulama besar Mazhab Maliki di al-Azhar.
Di dalam bidang yang khusus, beliau menerima Thariqat Ahmadiyah ar-Rasyidiyah ad-Dandarawiyah daripada Sayid Muhammad bin Ahmad ad-Dandarawi. Dengan Thariqat Ahmadiyah inilah beliau mencapai kemuncaknya sebagai Syeikh Mursyid Thariqat Ahmadiyah yang terbesar di dunia Melayu. Murid-muridnya dalam bidang Thariqat Ahmadiyah meliputi Cam di Kemboja, Patani, Malaysia (termasuk Sabah dan Sarawak), Singapura dan Brunei Darussalam.
PENYEBARAN THARIQAT AHMADIYAH
Di dalam ulama dunia Melayu terdapat beberapa orang guru Muhammad Said, mereka ialah Syeikh Wan Ali Kutan, Tuan Tabal, Syeikh Ahmad al-Fathani dan lain-lain juga menerima Thariqat Ahmadiyah daripada Sayid Ibrahim ar-Rasyidi (meninggal dunia 1291 Hijrah/1874 Masihi). Beliau adalah guru pada Sayid Muhammad bin Ahmad ad-Dandarawi (meninggal dunia 1327 Hijrah/ 1909 Masihi). Walau bagaimanapun pada peringkat awal Thariqat Ahmadiyah di dunia Melayu tidak berapa jelas perkembangannya.
Dengan kegigihan Muhammad Said, Thariqat Ahmadiyah berkembang dan tersebar dengan sangat lajunya. Thariqat Ahmadiyah mula mendapat sambutan yang luar biasa di Kota Bharu,Kelantan dan menimbulkan kontroversi antara murid-murid beliau dengan golongan yang tidak menyetujuinya. Untuk menenangkan suasana keresahan masyarakat, Raja Kelantan menulis tiga lembar surat pertanyaan yang ditujukan kepada Syeikh Ahmad al-Fathani di Mekah.
Di antara kandungan surat Raja Kelantan yang bertarikh Ramadan 1323 Hijrah (kira-kira 1905 Masihi) itu ialah, ``Iaitu daripada sahaya Raja Kelantan Ibnu al-Marhum as-Sultan Muhammad, mudah-mudahan dipersampaikan kepada orang tua sahaya Wan Ahmad bin Wan Din Fathani yang mujawwir di dalam negeri Makkah al-Musyarrafah ... `` Kalimat selanjutnya, ``Maka adalah sahaya nyatakan kepada orang tua sahaya, bahawasanya telah jatuh di dalam negeri sahaya satu pekerjaan yang pelik, tiada pernah jatuh lagi dahulunya. Iaitu datang seorang nama Haji Encik `Ied bin Haji Jamaluddin Linggi ke Kelantan mengajarkan ilmu Thariqat Ahmadiyah, yang dipanggil orang Thariqat Rasyidi ... ``
Selanjutnya, ``Maka yang mengajar itu kepada sekalian bagai Muslimin, daripada laki-laki dan perempuan, besar dan kecil, yang mempunyai ilmu atawa yang jahil. Bahkan kebanyakan mereka itu daripada juhhalun nas, yang tiada sembahyang, dan tiada mengetahui furudhul `ain, `aqidatul iman, dan lainnya. Dan setengah daripada mereka itu bangsa raja-raja dan anak menteri ... ``
Syeikh Ahmad al-Fathani telah menjawab pertanyaan Raja Kelantan itu dalam tiga bentuk karangan. Yang pertama diberi judul Mir-atul A'ajib fi Jawabi Su-alil Majazib. Yang kedua ditulis dalam bentuk syair bahasa Melayu, diberi judul Syair Thariqah Shufiyah. Yang ketiga ditulis dalam bentuk syair bahasa Arab, diberi judul Syair Man Li Ya Sa'id. Kesimpulan kandungan keseluruhannya ialah merupakan ilmiah yang berdiri pada pelbagai kaedah keilmuan Islam.
PENULISAN
Syeikh Muhammad Said Linggi juga menghasilkan beberapa buah karangan, di antaranya yang disebut dalam Kanzul Mu'id, ialah: Risalah al-Fawaid, Kasyful Ghiba'an Haqiqatir Riba, Sullamut Ta'rif ila Ilmit Tashrif, Risalah al-Fath, Nazham Kesesatan Kaum Wahabi, Al-Kasyfu wat Tanfis `an Saiyidi Ahmad bin Idris, Syarh Kunuzil Jawahirin Nuraniyah dan Kaifiyat Mengerjakan Tarawih.
Semua judul yang tersebut di atas belum saya jumpai, namun ada dua buah karangan Syeikh Muhammad Said Linggi yang tidak disebut dalam Kanzul Mu'id ada dalam simpanan saya, ialah: Rasail Jawiyah, diselesaikan pada pertengahan Rabiulakhir 1323 Hijrah di Bandar Singapura. Cetakan huruf batu atau litografi tetapi tidak terdapat nama dan tempat di mana dicetak. Kandungannya merupakan kumpulan pelbagai hizib yang diamalkan para Auliya. Perbicaraan dimulai daripada Thariqat Syaziliyah dan diikuti dengan Thariqat Ahmadiyah yang dilengkapi dengan riwayat, silsilah dan berbagai-bagai wirid, amalan-amalan dan lain-lain yang ada kaitan dengannya.
Karangan Muhammad Said Linggi yang masih dalam bentuk manuskrip berjudul Silsilah Thariqah An-Naqsyabandiyah. Naskhah ini saya peroleh pada satu kampung di Negeri Sembilan daripada salah seorang murid Muhammad Said Linggi. Pada awal naskhah dinyatakan bahawa beliau menerima Thariqat Naqsyabandiyah di Mekah kepada Syeikh Usman Rais. Dinyatakan bahawa Muhammad Said bin Jamaluddin al-Linqi ar-Rasyidiyah selesai menulis pada bulan Rejab (tanpa dinyatakan tahun). Naskhah yang dibicarakan ini adalah salinan, tanpa nama penyalin, yang diselesaikan pada 27 Safar 1360 Hijrah, iaitu kira-kira 15 tahun setelah Syeikh Muhammad Sa'id meninggal dunia.
KETURUNAN
Ketika Syeikh Muhammad Said meninggal dunia, beliau meninggalkan 16 orang anak. Sebagai pengganti menjadi Khalifah Thariqat Ahmadiyah adalah anaknya yang bernama Syeikh Haji Abdullah. Anak beliau yang banyak menghasilkan karangan ialah Haji Ahmad yang ketika hidupnya pernah menjadi Mufti Negeri Sembilan. Di antara anak Syeikh Muhammad Said yang sempat saya jumpai ada dua orang iaitu Haji Mansur (1970) dan Haji Tahir (1990). Pertemuan saya dengan kedua-dua anak beliau yang tersebut mempunyai kesan tersendiri.
Daripada Haji Mansur saya menerima sebuah buku manaqib yang berjudul Kanzul Mu'id. Beliau pula membaca secara hafal di hadapan saya syair bahasa Arab yang panjang karya Syeikh Ahmad al-Fathani yang termaktub pada akhir I'anah at-Thalibin karya Saiyid Abu Bakar Syatha.
Daripada Haji Tahir saya peroleh syair bahasa Arab juga karya Syeikh Ahmad al-Fathani yang pernah diserahkan oleh Syeikh Ahmad al-Fathani kepada muridnya Syeikh Muhammad Said Linggi. Syair tersebut diberi judul Man Li Ya Sa'id.
Selain itu saya juga sentiasa berhubungan mesra dengan beberapa orang cucu Syeikh Muhammad Said Linggi, di antaranya Datuk Haji Murtadza bin Haji Ahmad, sekarang Mufti Negeri Sembilan.

Sheikh Abdul Azhim al-Manduri

Mursyid Tarekat Naqsyabandiah

Beliau merupakan salah seorang murid Saiyid Muhammad Shalih az-Zawawi yang sangat terkenal berasal dari Madura dan pernah mengajar di Mekah (wafat tahun 1335 H/1916 M). Salasilah beliau dalam Tarekat Naqsyabandiyah adalah berikut:
lSheikh Abdul Azhim al-Manduri (Madura) belajar kepada dua Mursyid, iaitu:
lSaiyid Muhammad Shalih az-Zawawi (1246 H/1830 M-1308 H/1890 M) dan Sheikh Abdul Hamid ad-Daghitstani al-Muzhhari, belajar kepada
lSheikh Muhammad Muzhhar al-Ahmadi (wafat 1301 H/1883 M di Madinah), beliau inilah yang dianggap sebagai Mujaddid Tarekat Naqsyabandiyah pada aliran ini, belajar kepada
lSheikh Ahmad Sa'id al-Ahmadi (wafat 1277 H/1860 M di Madinah) belajar kepada
lSheikh Abu Ahmad Sa'id al-Ahmadi (wafat 1250 H/1835 M di Madinah) belajar kepada
lSheikh Abdullah ad-Dihlawi (1158 H/1735 M12 Safar 1240 H/1824 M). Mulai dari sini hingga ke penghujung salasilah adalah sama dengan Salasilah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah Syeikh Ismail Minangkabau.
Selain belajar kepada Saiyid Muhammad Shalih az-Zawawi (1246 H/1830 M-1308 H/1890 M), beliau juga belajar kepada Saiyid Abdul Karim Daghitstani (wafat akhir Syaaban 1338 H/1909 M), Saiyid Umar asy-Syami (1245 H/1829 M-Syawal 1313 H/1895 M).
Sheikh Abdul Azhim al-Manduri mempunyai murid yang sangat ramai, kebanyakannya menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyah itu. Salah seorang di antara mereka ialah Kiai Haji Zainal Abidin Kwanyar, Bangkalan, Madura (wafat 1358 H/1939 M), yang berbiras dengan Sheikh Abdul Azhim al-Manduri. Murid Sheikh Abdul Azhim al-Manduri yang sangat terkenal pula ialah Kiai Khalil al-Bankalani (wafat 1344 H/1925 M).
Salah seorang keturunan muridnya ialah Kiai Fathul Bari, berasal dari Sampang dan wafat di Peniraman, Kalimantan Barat tahun 1960 M. Murid beliau ini sangat ramai di Madura, Jawa Timur dan Kalimantan Barat. Setelah beliau wafat, muncul pula murid beliau Saiyid Muhsin al-Hinduan, ulama yang mempunyai murid yang sangat ramai di Kalimantan Barat, Jawa dan Sulawesi. Beliau meninggal dunia di Pontianak, pada 1980 M, jenazahnya diterbangkan ke Sumenep, Madura.
Karya Sheikh Abdul Azhim al-Manduri tersebut yang telah diketemukan hanya sebuah, iaitu Kaifiyat Berzikir Atas Thariqat Naqsyabandiyah, cetakan pertama Matba'ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1308 H/1890 M. Walaupun risalah tersebut kecil, namun mendapat pengaruh yang besar di kalangan pengamal-pengamal Tarekat Naqsyabandiyah di dunia Melayu.
Petikan kata-kata Saiyid Muhsin Ali al-Hinduan
Saiyid Muhsin Ali al-Hinduan, seorang Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah, pernah datang ke rumah Al-Ustaz Haji Abdur Rani Mahmud, membicarakan persoalan pada tahun itu akan diadakan Haul Imam Rabbani di Masjid Jami' Al-Falah, Sungai Jawi Dalam, Pontianak.
Ustaz Haji Abdur Rani Mahmud menjelaskan bahawa pedoman beliau untuk memberikan ceramah tentang haul dan lain-lain, yang beliau diberikan kepercayaan oleh Al-Ustaz Saiyid Muhsin Ali al-Hinduan, yang paling penting sebagai pedoman beliau ialah karya Sheikh Abdul Azhim al-Manduri tersebut.
Saiyid Muhsin Ali al-Hinduan pernah merakamkan peristiwa yang diceritakan oleh gurunya yang beliau tulis dalam risalah kecil berjudul Rantai Mas. Di sini penulis menyalin semula yang termaktub pada halaman 72, menurut beliau adalah berikut:
"K. H. Zainal Abidin Kwanyar Bangkalan Madura adalah seorang Alim Besar, soleh serta warak. Beliau ini adalah saudara misanan daripada Sheikh Abdul Azhim (meninggal di Bangkalan tahun 1335 H/1916 M) pembawa Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah ke daerah Madura, dan sejak kecilnya memanglah dalam asuhannya. Beliau dibawa ke Mekah oleh saudaranya itu dan lama tinggal di sana menuntut berbagai-bagai ilmu kepada alim ulama Mekah.
Pernah beliau menceritakan kepada beberapa orang muridnya, bagaimana asal mulanya beliau menganut Tarekat Naqsyabandiyah, katanya:
"Lama benar saya tinggal di Mekah dalam asuhan kakandaku Sheikh Abdul Azhim, seorang Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah yang tak ada bandingannya di masa itu. Beliau tersohor sebagai Wali Allah yang istimewa, yang tidak sedikit murid-muridnya.
Di sana saya menuntut berbagai-bagai ilmu kepada alim ulama yang besar-besar, seperti Tuan Sheikh Umar Bajunaid, Tuan Sheikh Ahmad Khathib Minangkabau dan lain-lainnya. Dalam hatiku memang sudah terkandung hasrat yang besar untuk mempelajari Tarekat Naqsyabandiyah, namun setiap kali saya memberitahu akan hal itu kepada sang Guru Besar Tuan Sheikh Ahmad Khathib, sentiasa beliau mencegah dan melarang saya seraya katanya, "Tarekat Naqsyabandiyah itu tidaklah berasal daripada agama sedikit pun juga, melainkan hanya buatan manusia. Pokoknya Tarekat Naqsyabandiyah itu tidak lebih daripada bidaah dhalalah.
Akan tetapi dengan kehendak Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, ketika pada suatu hari saya sedang mentelaah kitab yang saya kaji, sekonyong-konyong datanglah kakandaku Sheikh Abdul Azhim ke tempatku seraya katanya: "Hai Zainal Abidin, mengapakah tidak engkau segera mempelajari Tarekat Naqsyabandiyah, padahal aku sendiri di sini sebagai seorang Mursyid dan Guru dari tarekat tersebut? Ketahuilah bahasa yang dikatakan orang yang kamil itu, bukanlah hanya orang yang pandai membaca kitab yang beraneka warna akan tetapi orang yang sebenar-benarnya kamil ialah orang yang tidak kunjung, putus perhubungan batinnya dengan Allah sedikitpun juga, walaupun orang itu hanya berilmu sekadar cukup dipakai saja".
Dan katanya pula: "Sekalipun sampai di mana ilmu pengetahuan mu dan ibadah zahir yang engkau kerjakan itu, namun tetaplah tak akan diterima Allah bila tidak disertakan hati yang bersih, tulus ikhlas serta senantiasa ingat akan Allah. Kerana kehodohan hati kepada Allah itulah yang disebut Ruhul Ibadah. Ada pun setiap amal ibadah apa pun juga yang tidak disertakan perhubungan batin maka yang demikian itu adalah ibarat bangkai yang tak bernyawa lagi atau kata lebih tegas, "Bangkai ibadah namanya".
Perkataan kandaku serasa menusuk jantungku, sehingga menyebabkan saya berani menghadap sang Guru Sheikh Ahmad Khathib meminta izin sekali lagi daripadanya untuk mempelajari Tarekat Naqsyabandiyah kepada kekanda Sheikh Abdul Azhim.
"Telah berulang-ulang saya terangkan kepadamu bahasa Tarekat Naqsyabandiyah itu adalah bidaah dhalalah," katanya dengan muka marah. "Saya ingin tahu yang sebenarnya," kataku. "Kerana penentangan yang tidak disertakan dengan penyelidikan yang saksama salahlah hukumnya."
Lalu katanya: "Baiklah, boleh engkau masuk Tarekat Naqsyabandiyah itu dengan maksud dan niat yang demikian namun engkau harus berhati-hatilah, jangan sampai tertipu atau terpengaruh oleh ajaran-ajarannya. Kerana tidaklah sedikit orang orang yang telah terjebak dalam perangkap mereka padahal mereka itu adalah dari alim ulama yang ternama." "Tidak khuatir. Insya-Allah," jawabku.
Pada malam hari itu juga saya datang menemui kekanda Sheikh Abdul Azhim di majlisnya dan kebetulan beliau sedang dikerumuni oleh murid-muridnya yang ramai. Mereka sama duduk menghadap beliau dengan penuh hormat, khidmat dan takzim kepada beliau.
Saya terus duduk di samping beliau dan menyampaikan keinginan yang telah lama terkandung dalam hatiku, iaitu minta ditalqinkan zikir Tarekat Naqsyabandiyah. Dengan pandangan yang tajam beliau menatap muka saya seraya katanya: "Engkau akan berbai'at dalam Tarekat Naqsyabandiyah?" "Ya", jawabku.
Kata beliau lagi, "Ketahuilah bahasa Tarekat Naqsyabandiyah yang kita amalkan ini adalah satu-satunya tarekat yang memang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Dan engkau harus yakin dalam hatimu akan yang demikian itu. Jangan masih ada terselit dalam hatimu pendapat orang-orang yang sesat yang mengatakan bahasa Tarekat Naqsyabandiyah itu tidaklah daripada ajaran Islam sedikit pun juga. Kerana orang yang suka mengatakan demikian itu tidaklah lain, kecuali mereka yang hampa hati sanubarinya dari 'Nur Ilahi', yakni hanya berisi hawa nafsu dan syaitan belaka. Mereka tidaklah pernah merasakan 'isyq (rindu) kepada Allah dalam erti kata yang sebenarnya, bahkan mereka tidak mengerti apa yang dikatakan rindu kepada Allah itu. Ibadah yang mereka kerjakan itu tidaklah lebih daripada Tazyinuz Zahir (Perhiasan zahir) sedang isi hatinya bertentangan dengan apa yang diperbuatnya".
Dan katanya pula: "Hai anakku Zainal Abidin, marilah engkau memasuki Tarekat Naqsyabandiyah ini dengan niat yang suci murni, iaitu tidak lain hanya menuntut keredaan Allah SWT. Bukan dengan niat menyelidiki atau hanya ingin mengetahuinya saja. Dan kelak setelah engkau mengamalkannya, tentulah engkau tahu, apakah benar orang-orang yang mengatakan bahasa Tarekat Naqsyabandiyah itu bidaah dan sebagainya".
Kata K.H. Zainal Abidin lagi: "Setelah saya mendengar keterangan yang beliau terangkan itu, gemetarlah hati dan tubuh saya, serta dilangsungkannya bai'at pada malam itu juga, dan ditawajjuhlah batinku dengan zikrullah. Allahu Akbar! Pada tawajjuh yang pertama kali itu dapatlah saya rasakan nikmat dan lazat zikrullah yang belum pernah saya rasakan selama hidup, serta tersingkaplah tirai batin yang menyelubungi saya dan dibukakan-Nya kepada saya beberapa pemandangan yang indah-indah yang sukar bagiku untuk menceritakannya dengan lidah zahir ini.
Pada keesokan hari itu jua datanglah saya ke tempat Guru Besar Sheikh Ahmad Khathib, kemudian dengan tegas saya nyatakan kepada beliau, bahasa Tarekat Naqsyabandiyah adalah satu-satunya jalan yang baik bagi umat Islam, untuk mencapai tingkat tauhid yang setinggi-tingginya. Mendengar yang demikian itu beliau terkejut dan hairan seraya katanya dengan muka yang sangat merah: "Kalau sudah demikian pendapat engkau, nyatalah bahasa racun Tarekat Naqsyabandiyah itu telah mengenai dirimu."
"Memang," kataku, "dan saya yakin dengan sepenuh-penuhnya bahasa Tarekat Naqsyabandiyah itu adalah memang ajaran agama Islam yang sebenarnya. Dan keyakinan yang demikian itu, selain disebabkan Tarekat Naqsyabandiyah memang berdasarkan al-Quran dan hadis Rasullullah SAW pun juga disebabkan pengalaman dan zauq yang telah saya peroleh." Demikian menurut Saiyid Muhsin Ali al-Hinduan dalam bukunya berjudul Rantai Mas.
Penutup
Sebagaimana telah disebutkan bahawa sebuah karya Sheikh Abdul Azhim al-Manduri yang berpengaruh mengenai Tarekat Naqsyabandiyah di dunia Melayu/Asia Tenggara ialah Kaifiyat Berzikir Atas Tariqat Naqsyabandiyah. Karya itu jika kita ringkaskan maka natijahnya adalah sebagai yang berikut:
Sheikh Abdul Azhim al-Manduri sebelum memasuki perkara-perkara lainnya, beliau menganjurkan supaya menjaga adab salasilah. Kata beliau, "Dan sayugia lagi baginya bahawa tiada meninggalkan ia akan membaca salasilah sekurang-kurangnya setiap delapan hari sekali atau dua kali. Dan jika dibaca sehari semalam satu kali, iaitu terlebih bagus. Bermula jika dibaca pada malam dan lepas sembahyang tahajud, iaitu terlebih afdal.
"Istimewa pula apabila ada barang yang dikehendaki daripada Allah SWT. Kerana dengan berkat mereka itu tiada tertolak oleh hajat, Insya-Allah SWT, sama ada perkara dunia atau perkara akhirat."

Syeikh Imam Ishak Rawa


Syeikh Tarekat Naqsyabandiah Kholidiah

Seorang yang gigih menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Nama lengkap beliau mengikut salasilah ayahnya ialah Tuan Guru Imam Tengku Haji Ishak bin Tengku Muhammad Arif bin Tengku Tan Joleng Tujuan Saka Mas bin Tengku Merah Laut Silingkar Alam @ Limbang Laut keluarga Yang Dipertuan Muda Tanjung Alai, Mapat Tunggal, Rao, Sumatera Barat.
Sungguhpun masih banyak persoalan yang masih belum jelas, namun berdasarkan surat Zaffuan bin Haji Manap ar-Rawi al-Qadiriah kepada Pengkaji bertarikh 17 Ramadan 1427 H/20 Oktober 2006 M, keluarga tersebut ada pertalian dengan Syeikh Muhammad Murid Rawa.
Kata Zaffuan, “Keluarga Syeikh Murid ini juga mempunyai pertalian dengan keluarga Merah Mas, Yang Dipertuan Muda Tanjung Alai, Rao tetapi sayangnya peraturan sebenar masih belum dapat dihuraikan hingga kini.”
Saya simpulkan saja bahawa Imam Tengku Haji Ishak salah seorang daripada keluarga Rao atau Rawa dan besar baktinya mendokumenkan keluarga itu terutama di Malaysia.
Menurut surat Zaffuan itu lagi, “Punca utama manuskrip keluarga beliau (maksudnya keluarga Syeikh Muhammad Shalih Rawa, bererti juga semua keluarga) di Pahang ini pada asalnya adalah atas usaha orang tua kami yang dihormati lagi dimuliakan iaitu almarhum Tuan Guru Imam Haji Ishak bin Muhammad Arif al-Khalidi an- Naqsyabandi (1908-1992).”
Ibu Imam Haji Ishak bernama Hindun @ Nujmah binti Tengku Mahmud (keturunan Siak). Ibu Hindun @ Nujmah ialah Maryam berasal dari Kampung Teluk Pulai, Klang, Selangor. Imam Haji Ishak dilahirkan di Kampung Chemor, Ipoh, Perak pada tahun 1908 dan meninggal dunia tahun 1992.
Beliau menerima Tarekat Naqsyabandiyah daripada Syeikh Umar bin Haji Muhammad al-Khalidi an-Naqsyabandi (wafat tahun 1936) di Batu Pahat, Johor.
Guru Syeikh Umar pula ialah Syeikh Abdul Wahhab Rokan (lahir 1811, wafat tahun 1926). Menurut surat Zaffuan lagi: “Beliau adalah seorang guru agama dan pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah yang terkenal di seluruh mukim Dong, Raub malah muridnya juga ramai yang datang dari luar Pahang.”
Dari perkataan “Beliau adalah seorang guru agama dan pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah ..." perlu diberi ulasan bahawa perkara khilafiah (pertikaian pendapat) dalam Islam sangat banyak, termasuklah ada golongan yang menerima tarekat dan ada pula yang menolaknya. Bahkan lebih jauh daripada itu ada pihak-pihak tertentu yang membidaah dan mengkhurafatkannya.
Dalam segala persoalan dari dulu hingga sekarang, ada saja orang yang tidak pasti tentang sesuatu perkara selalu menyalahkan apa yang dia tidak tahu. Oleh itu pada pandangan saya, tidaklah bijaksana dan tidak adil seseorang itu menyalahkan pendapat orang lain sedangkan dia tidak mempelajari pendapat itu secara saksama, teliti dan mendalam kepada ahlinya. Demikian halnya dengan tarekat dalam tasauf telah berada dalam Islam sejak lama dan telah diamalkan oleh ramai ulama.
Selagi ramai ulama yang mengamalkannya dan terdapat hujah-hujah dalam kitab-kitab mereka, walaupun ada golongan yang menyalahkannya kita tidak patut mempertahankan pendapat atau pandangan sendiri. Apabila kita hidup bermasyarakat, tetapi hanya bertahan kepada pendapat atau pandangan sendiri, tidak menerima pendapat atau pandangan orang lain, boleh mengakibatkan keresahan masyarakat, kehidupan selalu tidak harmoni.
Oleh itu seseorang guru agama seperti Imam Haji Ishak yang mengamalkan tarekat seperti yang diriwayatkan ini, tidak perlu kita pertikaikan kerana sepanjang hayatnya mempunyai murid yang ramai dan diterima oleh masyarakat. Bagi saya, siapa saja mempunyai pendapat dan pandangan yang tidak menyalahi Islam marilah berjuang sehingga nyata kebajikan demi kepentingan umat.
Pendidikan
Setelah tamat sekolah Melayu (di Sekolah Melayu Dong, Raub) beliau mendalami ilmu agama secara khusus. Di antara guru-gurunya termasuklah dua orang ulama berikut iaitu Tuan Syeikh Kasyful Anwar (berasal dari Kalimantan). Beliau adalah seorang yang sangat alim dalam ilmu alat (nahu, sharaf, bayan, mantik, balaghah, badi’ dan sebagainya).
Tentang fiqh pula, Tuan Imam Haji Ishak belajar dengan Tuan Syeikh Muhammad Shalih bin Syeikh Haji Umar, ulama yang berasal dari Batu Pahat, Johor.
Di antara kitab-kitab yang dipelajari oleh Tuan Imam Haji Ishak ialah kitab-kitab tentang akidah Matn Jauharah at-Tauhid, Durr ats-Tsamin oleh Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, Akidah an-Najin oleh Syeikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani. Dari tiga buah kitab ilmu akidah atau tauhid yang tersebut, dapat disimpulkan bahawa Tuan Imam Haji Ishak telah mempelajari ilmu yang sangat asas itu, sebuah matan dalam bahasa Arab (Matn Jauharah at-Tauhid) dan dua syarah dalam bahasa Melayu (Durr ats-Tsamin dan Akidah an-Najin).
Menurut tradisi pengajian Islam dunia Melayu zaman silam tidak terhenti setakat itu saja, biasanya untuk membolehkan seseorang itu bergelar alim dalam akidah Ahli Sunah wal Jamaah dan berkelayakan mengajar, mereka meneruskan pengajian kepada kitab-kitab dalam bahasa Arab peringkat syarah dan hasyiyah yang tinggi-tinggi serta banyak melakukan pengtelahan.
Tentang fikah ialah Sabil al-Muhtadin oleh Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, Furu’ al-Masail oleh Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, dan al-Iqna’ kitab dalam Mazhab Syafie dalam bahasa Arab. Jika kita perhatikan tiga kitab yang tersenarai juga sebuah kitab dalam bahasa Arab (al-Iqna’) dan dua buah dalam bahasa Melayu (Sabil al-Muhtadin dan Furu’ al-Masail).
Kitab al-Iqna’ bukanlah sebuah kitab yang mendalam tetapi peringkat pertengahan sahaja. Namun ia dianggap memadai kerana termasuk dalam golongan kitab bercorak syarah bukan matan. Kitab Sabil al-Muhtadin kitab Melayu/Jawi yang cukup popular dalam pengajian Islam tradisional di seluruh dunia Melayu.
Dalam pengertian bahagian ibadat kitab Sabil al-Muhtadin termasuk kitab fiqh Syafieyah yang lengkap. Ada pun kitab Furu’ al-Masail juga dalam bahasa Melayu. Kitab ini membicarakan perkara yang furuk-furuk (cabang-cabang atau bahagian yang halus-halus). Hanya dua saja kitab Melayu/Jawi seperti demikian. Sebuah lagi ialah Kasyf al-Litsam karya Syeikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani.
Sungguh pun Tuan Imam Haji Ishak bukan dikenali sebagai seorang faqih (pakar fikah) tetapi beliau memahami banyak hal dalam fikah. Tambahan pula, beliau lebih banyak menceburi bidang Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah tidaklah dapat dianggap beliau tidak memahami syariat. Memanglah sangat berbahaya apabila ada seseorang guru tarekat apabila tidak memahami syariat dan ilmu-ilmu yang lainnya.
Daripada sekian ramai penyebar Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di dunia Melayu seumpama Syeikh Ismail bin Abdullah al-Minankabawi, Syeikh Abdul Wahhab Rokan yang turun kepada Tuan Imam Haji Ishak, dan lain-lain yang faham syariat akhir-akhir ini, memang ada orang tertentu yang tidak faham syariat mengaku dirinya sebagai seorang Syeikh Mursyid.
Seseorang yang jahil tentang syariat adalah ditolak atau tidak diakui oleh ulama tasauf sendiri, apatah lagi ulama-ulama golongan lainnya.
Tentang tasauf ialah ar-Riayah li Huquqillah, Kasyf al-Mahjub, ar-Risalah al-Qusyairiyah. Semua kitab yang tersebut adalah dalam bahasa Arab. Hal yang tersebut bukan bererti Tuan Imam Haji Ishak tidak mengenali atau tidak mempelajari kitab-kitab tasauf bahasa Melayu kerana kitab-kitab tasauf pada zamannya masih muda masih banyak diajarkan oleh para ulama kita.
Di antara kitab tasauf bahasa Melayu yang pasti diketahui oleh Tuan Imam Haji Ishak ialah Hidayah as-Salikin dan Siyar as-Salikin. Kedua-duanya karya Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Kitab Syarh Hikam yang berasal daripada karya Syeikh ‘Atha’ al-Askandari, Ad-Durr An-Nafis oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dan lain-lain.
Di antara kitab tasauf Melayu yang sangat erat hubungannya dengan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah (tarekat yang diamal oleh Tuan Imam Haji Ishak) ialah Ar-Rahmah al-Habithah fi Ism az-Zat wa ar-Rabithah karya Syeikh Ismail bin Abdullah Naqsyabandi Khalidi al-Minankabawi.
Tentang hadis ialah Bahr al-Mazi oleh Syeikh Idris al-Marbawi, Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Fath al-Bari. Dalam empat judul kitab hadis yang disenaraikan ini hanya satu judul saja yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu (Bahr al-Mazi). Tiga judul lagi adalah dalam bahasa Arab (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Fath al-Bari). Daripada senarai tersebut ternyata Tuan Imam Haji Ishak juga belajar hadis.
Kitab-kitab dipelajari oleh Tuan Imam Haji Ishak seperti tersenarai di atas sudah cukup membuktikan bahawa beliau menguasai ilmu-ilmu Islam. Saya yakin bahawa beliau seorang yang rajin membaca. Hal ini kerana saya berkenalan dengan beliau tahun 1990 di mana beliau membawa dan menunjukkan sebuah kitab karya Syeikh Ahmad al-Fathani yang saya usahakan judul Shufi dan Wali Allah diterbitkan oleh Pustaka Aman Press, Kota Bharu, Kelantan.
Setelah beliau tahu saya tinggal di Kuala Lumpur, beliau datang ke rumah saya. Kitab tersebut dijadikan perantara perkenalan. Saya cukup kagum dengan Tuan Imam Haji Ishak kerana pada ketika itu beliau telah mempunyai murid yang ramai dan namanya cukup terkenal dalam lingkungan jemaah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang beliau pimpin. Namun beliau datang ke rumah saya yang jauh lebih muda daripadanya dan tidak masyhur pula.
Saya berkesimpulan Tuan Imam Haji Ishak adalah seorang warak dan zuhud yang tidak membesarkan diri. Sifat-sifat demikian adalah mengikuti jejak langkah para ulama sufi.
Sumbangan
Pada 1932 Tuan Imam Haji Ishak telah diberi tauliah imam oleh Sultan Abu Bakar (Sultan Pahang). Dalam usia 24 tahun, Tuan Imam Haji Ishak telah diberi kepercayaan menjadi imam di Masjid Lechar, Raub, Pahang Darul Makmur. Berbekalkan ilmu-ilmu keislaman yang dipelajarinya dari para ulama yang dipercayai, Tuan Imam Haji Ishak berjaya menyatupadukan penduduk di kampungnya.
Di samping itu, memimpin mereka berpandukan tuntutan Alus Sunah wal Jamaah.
Tuan Imam Haji Ishak juga adalah pengasas Surau Ihyaul Qulub yang pada mulanya dikenali dengan nama Surau Daerah Kampung Bangkin, Mukim Gali, Raub.
Nama Surau Ihyaul Qulub dimasyhurkan sewaktu sambutan Jubli Emas surau tersebut pada Oktober tahun 1990. Selain jasa serta sebahagian daripada sumbangan Tuan Imam Haji Ishak yang dapat dicatatkan, rasanya tidak dapat tidak jasanya sebagai penyusun salasilah keturunan Rao perlulah diakui. Walaupun masih banyak pertikaian pendapat serta beberapa perkara yang masih belum jelas, namun jasa Tuan Imam Haji Ishak sebagai perintis masyarakat keturunan Rao khususnya di Malaysia amat besar.
Mudah-mudahan jejak langkah beliau akan disusuli dengan bersungguh-sungguh oleh beberapa orang keturunan Rao atau Rawa yang datang kemudian

Syeikh Haji Maarof Yaakob


Khalifah Tarekat Naqsyabandiah Kholidiah

Syeikh Haji Maarof Yaakob berasal dari Lenggeng, Negeri Sembilan iaitu sebuah mukim yang bersempadan dengan kawasan Ulu Langat Selangor. Kawasan ini lebih mudah dihubungi melalui jalan Kajang- Seremban. Sebahagian besar penduduknya ialah berasal dari tanah seberang khususnya masyarakat Minangkabau. Tuan Haji Maarof dilahirkan pada tanggal 1901 bersamaan lebih kurang tahun 1322H pada hari selasa pukul 10.00 pagi di sebuah pondok tengah sawah Kampung Sungai Bunga. Anak pertama bagi pasangan Yaakob Haji Saman dan Siti Hajar Haji Arshad asalnya diberi nama Muhamad Jinid, namun bayi ini sering menghadapi masalah dan mengikut kepercayaan orang-orang tua nama tersebut tidak serasi bagi batang tubuh anak. Lalu ditukarkan kepada Maaruf dengan harapan akan mendapat kebaikan di dunia dan akhirat.
.
Nenek moyang sebelah ibunya berasal dari tanah Jawa. Neneknya bernama Inah dan bapanya Haji Arshad dari Jawa Tengah. Mereka berhijrah ke Semenanjung Tanah Melayu dan berkampung di Pulau Besar. Keluarga ini akhirnya masuk suku mengikut adat negeri ini iaitu berperut kepada Suku Biduanda. Manakala sebelah bapanya berasal dari Tanah Minang dan bermukim pula di Kampung Ampang Penajis. Di sanalah bapanya dilahirkan dan ternaung di bawah Suku Batu Hampar.
.
Mereka berpindah ke Lenggeng dalam sekitar tahun 1895. Di sinilah ibu dan bapanya bertemu jodoh. Lima tahun kemudian, mereka dikurniakan cahaya mata. Pondok penginapan mereka terletak kira-kira di hadapan Masjid Mandom sekarang.
.
Pendidikan
.
Meningkat usia 7 tahun, Maarof pun menjejakkan kakinya di Sekolah Melayu Pekan Lenggeng kira-kira 2.5 km dari rumahnya. Sekolahnya hanya beratapkan rumbia dan berdinding papan di tepi sawah. Di sinilah ia bersekolah hingga menamatkan darjah 5. Kemudian beliau terpilih melanjutkan pendidikan dua tahun lagi sehinggalah lulus peperiksaan peringkat sekolah rendah. Haji Maarof mendapat nombor ke lapan dari 2,550 murid yang mengambil peperiksaan itu. Kejayaan ini membuka peluang kepada beliau untuk menjadi guru kecil ( pelatih) dan diterima mengajar di Sekolah Melayu Pantai, Jalan Jelebu. Sebagai tanda kelayakannya, Kerajaan British ketika itu menganugerahkan beliau 'Certificate For Standard V' ( 30 Jun 1917) dan 'Certificate Of Registration Of A Teacher' pada 28 Oktober 1921. Haji Maarof kemudiannya berpindah pula ke Sekolah Melayu Mantin (1918). Beliau bertemu jodoh dalam tahun 1921 berkahwin dengan seorang gadis bernama Ghina bt Muhamad Nuh.
.
Anggota M.V.I
.
Apabila tercetusnya Perang Dunia Pertama, Kerajaan kolonial British telah menubuhkan pasukan tentera simpanan yang dikenali sebagai Malayan Voluntary Infantry ( MIV) di negeri ini. Maarof telah berkhidmat dalam pasukan ini ketika masih menjadi guru. Beliau memakai nombor 1619 M.V.I dan terpaksa berlatih 2 kali seminggu di Seremban dan kemudiannya latihan intensif selama 2 tahun di Kem Batu 4 Port Dickson dalam tahun 1922. Mungkin tempoh tersebut juga beliau ditukarkan ke Sekolah melayu Bagan Pinang, Port Dickson. Beliau berkhidmat dalam pasukan beruniform ini hingga tahun 1924.
.
Letak jawatan
.
Dalam tahun 1925, beliau dipindahkan pula ke Sekolah Melayu Beranang. Di sinilah Haji Maarof meletakkan jawatan sebagai guru secara sukarela dengan gaji terakhir sebanyak $18.70 sebulan. Bagi memenuhi masa lapangnya, beliau belajar memandu kereta sehingga memperolehi lesen memandu. Selepas itu beliau memandu kereta sewa ke Seremban dan bersawah padi di kampung.
.
Cita-cita mengaji di pondok
.
Tuan Haji Maarof pernah bercita-cita belajar ilmu agama secara mendalam. Antara negeri-negeri sasarannya ialah Pantai Timur, Pattani dan Kedah. Dalam diam-diam beliau pergi mendapatkan akuan dari Dato' kelana Putra Luak Sungai Hujung yang menyatakan Maarof adalah anak buahnya dan menyokong hasrat beliau untuk merantau menuntut ilmu agama. Surat akuan itu diperolehi bertarikh 4 Mac 1925. Sayangnya, hasrat beliau tidak mendapat restu ibunya.
.
Merantau ke Jambi
.
Sebetulnya, Haji Maarof masih menanam tekad untuk menuntut ilmu agama dan dalam tahun 1925, beliau memberanikan diri meminta izin ibunya untuk ke Jambi pula. Tujuan beliau ialah untuk mencari wang belanja bagi meneruskan cita-citanya menuntut ilmu agama di Pantai Timur. Kali ini ibunya mengizinkan, anak muda yang taat kepada ibu dan bapanya itupun bertolaklah ke Singapura bersama pak ciknya. Mereka bermalam di masjid Kg Jawa sebelum belayar ke Jambi.
.
Di Jambi, Haji Maarof bekerja membersihkan kebun getah dan sebagai pemandu boat tambang di Sungai Jambi. Kemahirannya memandu dan boleh membaik pulih injin itu telah menarik minat penduduk di Pekan jambi untuk mendapat khidmatnya. Beliau balik ke Lenggeng semula setelah dimaklumkan ibunya sakit merinduinya. Kemudian beliau bekerja sebagai 'Revenue officer grade III di Kuala Lumpur dengan gaji bulanan sebanyak $35 dan tambahan $5 untuk elaun basikal. Dia bertugas bermula 11 April 1927 hingga 31 Oktober 1928. Setelah itu Haji Maarof bertukar beberapa kerja sehinggalah mengambil keputusan untuk pulang ke kampungnya.
.
Mengambil Tarekat
.
Ketika mengajar di sekolah Mantin dalam tahun 1920, Haji Maarof mengambil tarekat daripada Tuan Guru Syeikh Haji Ahmad bin Mohd AlBaqir di Pantai, Seremban. Sekembalinya dari Jambi itu, Haji Maarof mula bersuluk. Suluk pertamanya selama 20 hari dan gurunya mengarahkannya membuat tahlil sebanyak 4 khatam selama sebulan.
.
Dinyatakan aktiviti bersuluk telah lama diamalkan di kawasan Lenggeng. Surau suluk pertama dicatatkan ada sejak tahun 1901 di bawah pimpinan Syeikh Kubung. Kemudian pusat-pusat bersuluk tumbuh di sana seperti di Kampung Tengah pimpinan Haji Mustaffa, Kg Suluk pimpinan Tuan Faqih, Kg Sungai Macang oleh Haji Abdullah Haji Ismail dan di Kg Dacing pimpinan Haji Said dan Syeikh Muda. Dilaporkan di Kg Dacing itu ramai murid-murid berasal dari tanah seberang.
.
Ijazah Khalifah
.
Awal tahun 1940an, Haji Maarof menumpukan masanya berguru sambil bersuluk di surau Syeikh Haji Ahmad bin Mohd Albaqir di Pantai, Seremban. Tuan guru itu telah lama mengadakan majlis ilmu di sana dan beliau merupakan khalifah tarekat Naqsyanbandi kholidiah ke 36 dan murid kepada Syeikh Ali Redha yang bermastautin di Jabal Qubais Mekah al Mukarramah, penyusun muat turunkan kedudukan lokasi Qubais ini sebagaimana catatan pengembaraan Ibnu Batttutah iaitu:
.
"Makkah ialah sebuah kota yang besar dan mempunyai bangunan-bangunan yang rapat-rapat. Ia berbentuk bujur dan terletak di dasar sebuah lembah yang dikelilingi oleh bukit bukau. Pengunjung yang datang tidak akan dapat melihat kota tersebut hingga ia benar-benar sampai di situ. Bukit-bukau yang mengelilinginya itu tidaklah begitu tinggi. Antara bukit tersebut ialah Jabal Abu Qubais dan Jabal Qu’aiqi’an iaitu dua buah Jabal al-Akhsyaban. Jabal Abu Qubais terletak di sebelah selatan kota Makkah dan Jabal Qu’aiqi’an pula di sebelah baratnya. Di sebelah utaranya terletak Jabal al-Ahmar. Bersebelahan dengan Jabal Abu Qubais pula terletak Ajyad al-Akbar dan Ajyad al-Asghar, kedua-duanya curam serta sempit selain Jabal al-Khandamah yang akan diceritakan kemudian. Tempat-tempat untuk melaksanakan haji iaitu Mina, ‘Arafah dan Muzdalifah, semuanya terletak di timur Makkah. "
.
Berkat Kesungguhan dan mujahaddah Haji Maarof ketika menuntut dengan Syeikh Haji Ahmad itu maka beliau terpilih untuk diijazahkan Khalifah Tarekat dalam tahun 1941. Ketika bertawajuh dalam tahun 1942, Haji Maarof mengalami sakit teruk hingga melemahkan tubuhnya. Gurunya mengarahkan murid-murid menyediakan setin minyak tanah air sejuk yang dibacakan surah Yassin. Selepas khatam tawajuh, Maarof dipimpin rakan-rakannya ke bawah jambatan sungai yang tidak jauh dari surau suluk mereka. Di atas batu tengah sungai itulah Haji Marof dimandikan. Dia begitu bersyukur kerana selepas dimandikan, tubuh badannya kembali sehat dan mampu berjalan tanpa dipapah lagi.
.
Memimpin jamaah
.
Selepas kembalinya ke rahmatullah Syeikh Haji Ahmad al Baqir pada 1 Syaaban 1362 H bersamaan 30 Julai 1942, Haji Maarof terus bersuluk dengan Haji Abdullah Haji Ismail di Suluk Sungai Bunga. Haji Abdullah dianggap guru dan abang tua dalam aliran tarekat ini. Haji Abdullah telah menulis ijazah ( bertarikh 28 April 1952) boleh memimpin tawajuh dan menyuluk bagi Haji Maarof yang tidak sempat ditulis oleh Syeikh Haji Ahmad dalam tahun 1942. Bertawajuh dengan Haji Abdullah berjalan hinggalah Haji Abdullah meninggal dunia lebih kurang tahun 1953/54.
.
Peninggalan Haji Abdullah, jamaah masih bertawajuh di Masjid Mandom setiap malam selasa dan jumaat di bawah pimpinan Haji Maarof. Kemudian mereka berpindah pula ke bangunan sekolah lama yang telah ditinggalkan dan lebih kurang 10 tahun pula mereka menggunakan bangunan tersebut. Akhirnya, dengan kesepakatan jamaah dan gotong royong telah didirikan surau baru di Kg Hilir pada 23 Ogos 1965. Surau suluk ini telah didaftarkan di Pejabat Agama dan kebenaran bertulis untuk menjalankan aktiviti keagamaan turut diberikan oleh pihak berwajib. Dato Kelana Putra, Undang Luak Sungai Ujung turut berkenan hadir di hari penutup suluk tahun tersebut. Walau bagaimanapun, jamaah ini tidak lepas dari fitnah orang yang tidak memahami aliran bersuluk atau bertarekat. Surat bantahan dari individu yang ditujukan kepada pihak berwajib telah dilayangkan tetapi kelulusan Pejabat Agama Negeri telah lama diperolehi. Malah dalam surat sokongan jabatan agama negeri bertarikh 23 Disember 1975 antara lain menyatakan:
.
"..Jabatan ini adalah sentiasa memberikan sokongan kepada apa-apa kegiatan keagamaan dan kerohanian yang boleh membawa masyarakat Islam di negeri ini kembali kepada Allah.."
.
Mereka juga berharap Tuan Guru Haji Maarof bin Yaakob akan dapat memimpin masyarakat Islam khasnya di kalangan jenerasi muda ke arah menghayati ajaran agama dan bertakwa.
.
Aktiviti jamaah
.
Surau telah diperbesarkan sesuai dengan pertambahan murid atau jamaah yang mengikuti majlis pimpinan Haji Maarof. Ramai pengunjung datang menyertai aktiviti di sini dari merata pelusuk negeri termasuk dari Singapura. Setiap majlis penutup suluk, jamaah akan mengadakan kenduri dan jiran-jiran berhampiran yang tidak bersuluk pun turut dijemput serta dalam kenduri tersebut. Apabila datang hari raya, program menziarahi tuan guru dan majlis korban turut diadakan. Haji Maarof akan diwakilkan untuk menyembelih binatang korban murid-murid beliau.
.
Penutup
.
Ratusan orang muridnya telah diberi pengakuan mengambil tarekat dan dibenarkan mengadakan tawajuh di masa hidupnya. Mereka adalah dari semua lapisan masyarakat dewasa dan berlatar belakang berbagai profession dari merata negeri. Tidak kira lelaki atau wanita yang ingin mencari keredhaan Illahi tidak akan dihampakan oleh Tuan Guru yang soleh itu. Dipercayai bilangan murid bagi aliran Naqsyabadi Kholidiah telah mencapai ribuan orang di merata pelusuk negeri. Selepas pemergiannya, difahamkan majlis tawajuh di surau itu masih diteruskan oleh menantunya Sheikh Talib.
.
Hasil perkongsian hidup dengan Hajah Fatimah Idris ( isteri kedua), Almarhum telah dikurniakan 8 cahaya mata dan mewarisi cucu cicit yang ramai. Isteri beliau meninggal dunia pada 7 Jun 1987 bersamaan 9 Ramadhan 1407H. Manakala Tuan Guru Syeikh Haji Maarof kembali ke rahmatullah pada tanggal tahun 1994. Kita berdoa agar jasa dan perjuangan almarhum khalifah Naqsyabandiah alKholidiah ini mendapat tempat di sisi Allah.

Syeikh Haji Ahmad Muhammad Al Bakir


Khalifah Tarekat Naqsyabadi Terawal Di Negeri Sembilan

Dalam menyingkapkan sejarah perkembangan aliran tarekat di negeri ini dan Tanah Melayu amnya, kita bagai terlupa kepada pembawa asal tarekat Nasyabandiah al Kholidiah di negeri pengamal adat perpatih ini iaitu Tuan Guru Syeikh Haji Ahmad alBaqir ini. Beliau kiranya adalah sezaman dengan kehadiran Syeikh Muhamad Said al Linggi yang mengasaskan tarekat Ahmadiah di negeri kita. Malangnya, tiada pula penyusun temui penyelidikan khusus mengkaji perjuangan syeikh ini atau sememangnya sudah ada usaha yang ke arah tersebut. Permata gemilang ini adalah anak watan yang berjasa dan melahirkan ratusan pewaris dalam abad ini.
.
Ketika menyusuri sejarah hidup anak muridnya iaitu al Marhum Syeikh Haji Maarof Yaakob di Lenggeng ( khalifah ke 37 Naqsyabandiah) dalam buku perjuanganya oleh Tuan Haji Sulaiman bin Haji Mohd Nor, penyusun tertarik untuk menjejaki liku-liku hidup tokoh awal ini dan insyaallah, penyusun akan cuba mendapatkan maklumat sahih dari waris-waris almarhum di Pantai, Seremban.
.
Mengenali Syeikh
Dicatatkan bahawa syeikh Haji Ahmad pernah menuntut dan bermukim di bumi Mekah Al Mukarramah. Di sanalah beliau menerima ijazah Khalifah tarekat dari Syeikh Ali Redha yang menetap di Jabal Qubais. Syeikh Ali Redha pula adalah pewaris ke 35. Almarhum Haji Ahmad dikatakan waris kepada Dato Kelana Sungai Ujung dan balik membuka suluk di Pantai sejak awal 1900 lagi.
.
Melalui didikan dan pengawasan Syeikh inilah, ramai murid berjaya menjalani program tawajuh dan bersuluk. Haji Maarof Yaakob adalah antara anak murid bungsunya yang sempat menerima ijazah pada tahun 1942. Dikatakan semasa mengadakan program bersuluk terakhir dalam tahun 1942, Syeikh Ahmad telah begitu uzur namun beliau masih menggagahi untuk menaiki tangga surau bagi menyertai majlis. Surau suluknya kira-kira 10 kaki sahaja dari pintu rumahnya. Adakalanya beliau akan diusung di atas kerusi oleh anak muridnya untuk naik ke surau.
.
Empat hari sebelum tamat majlis suluk dalam tahun itu, tiba-tiba Almarhum berkata kepada murid-muridnya:
.
"Suluk ini mesti ditamatkan!"
.
Hari jumaat sesudah magrib, 1 Syaaban 1362H bersamaan 30 Julai 1942 Tuan Guru yang soleh itu pun pergi menemui kekasihnya yang abadi. Jenazah yang mulia itu dikebumikan pada hari sabtu hari berikutnya di tanah perkuburan Pantai kira-kira 15 rantai dari suraunya.

Sabtu, 31 Januari 2009

Syeikh Ismail Al Minankabawi

Syeikh Ismail al-Minankabawi - Penyebar al-Khalidiyah pertama

KEDATANGAN Syeikh Ismail al-Minankabawi dari Mekah ke Kerajaan Riau-Lingga dan Semenanjung Tanah Melayu, pernah diungkapkan dengan panjang lebar oleh Raja Ali Haji dalam karyanya, Tuhfatun Nafis. Masih dalam penyelidikan awal, pada tahun 1985 saya menyusun sebuah buku berjudul, Syeikh Ismail Al-Minangkabawi Penyiar Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, cetakan pertama C.V Ramadhani, Solo, Mac 1985. Buku tersebut dirujuk dan dipetik oleh ramai penulis. Tulisan saya yang sekarang merupakan hasil penelitian yang terkini, setelah menemui pelbagai karya Syeikh Ismail al-Minankabawi. Beberapa kekeliruan pada penyelidikan awal diperbetulkan dalam artikel ini. Sebelum tulisan ini saya teruskan, terlebih dulu saya perlu menyatakan bahawa saya tidak sependapat dengan tahun andaian atau tahun dugaan kewafatan Syeikh Ismail al-Minankabawi yang termaktub dalam Ensiklopedi Islam, 2 Indeks, cetakan pertama, 1994, hlm. 55-56.
Menurut Ensiklopedi Islam tersebut bahawa Syeikh Ismail al-Minankabawi lahir pada tahun 1125 Hijrah dan wafat pada tahun 1160 Hijrah. Sanggahan saya adalah sebagai berikut, bahawa Syeikh Ismail al-Minankabawi jauh lebih muda daripada Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani (gurunya). Kelahiran Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani ada yang menyebut tahun 1133 Hijrah/ 1720 Masihi, 1153 Hijrah/1740 Masihi dan 1183 Hijrah/1769 Masihi. Yang pasti pula, sewaktu masih kanak-kanak Syeikh Ismail al-Minankabawi dibawa oleh ayahnya berpindah ke Mekah dan belajar kepada Syeikh Utsman ad-Dimyathi. Ulama ini hidup dalam tahun 1196 Hijrah/1781-2 Masihi - 1265 Hijrah/ 1848 Masihi. Oleh sebab Syeikh Ismail al-Minankabawi adalah murid Syeikh Utsman ad-Dimyathi, maka tahun kelahirannya dapat kita bandingkan dengan tahun kelahiran beberapa orang murid Syeikh Utsman ad-Dimyathi yang lain, seumpama Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan yang lahir tahun 1232 Hijrah/1816 Masihi, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah, lahir tahun 1233 Hijrah/ 1817 Masihi, dan lain-lain. Jadi jelaslah bahawa tahun 1125 Hijrah/1713 Masihi yang dinyatakan tahun kelahiran Syeikh Ismail al-Minankabawi itu adalah ditolak berdasarkan fakta sejarah. Daripada semua karya Syeikh Ismail al-Minankabawi yang ditemui, ternyata yang tercatat tahun selesai penulisan hanya sebuah saja, iaitu Ar-Rahmatul Habithah fi Zikri Ismiz Zati war Rabithah yang diselesaikan pada tahun 1269 Hijrah/1852 Masihi. Ini sudah cukup untuk menyanggah kenyataan bahawa Syeikh Ismail al-Minankabawi wafat pada tahun 1160 Hijrah/1747 Masihi itu, bahkan beliau masih hidup hingga tahun 1269 Hijrah/1852 Masihi. Menurut tulisan Syeikh Muhammad Mirdad Abul Khair dalam Nasyrun Naur waz Zahar, bahawa Syeikh Ismail al-Minankabawi wafat melangkaui tahun 1280 Hijrah/1863 Masihi.
Pendidikan
Syeikh Muhammad Mirdad Abul Khair meriwayatkan bahawa Syeikh Ismail bin Abdullah al-Minankabawi al-Khalidi asy-Syafi'ie lahir di Minangkabau (tanpa menyebut tahun). Sejak kecil beliau mengikut ayahnya pindah ke Mekah al-Musyarrafah. Beliau belajar pelbagai ilmu kepada Syeikh Utsman ad-Dimyathi. Setelah ulama besar itu wafat, Syeikh Ismail Minangkabau belajar pula kepada Syeikh Ahmad ad-Dimyathi. Selain kedua-dua ulama itu, Syeikh Ismail Minangkabau juga belajar kepada ulama-ulama lain dalam Masjidil-Haram, Mekah, dan Syeikh Ismail Minangkabau sempat belajar kepada Mufti Mazhab Syafie ketika itu, iaitu Syeikh Muhammad Sa'id bin Ali asy-Syafi'ie al-Makki al-Qudsi (wafat 1260 Hijrah/1844-5 Masihi). Ulama dunia Melayu yang menjadi gurunya, yang dapat diketahui secara pasti hanyalah Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.
Mengenai Thariqat Naqasyabandiyah al-Khalidiyah, Syeikh Ismail al-Minankabawi menerima baiah dan tawajjuh daripada Sayid Abi Abdillah bin Abdullah Afandi al-Khalidi, murid Syeikh Khalid al-'Utsmani al- Kurdi. Pada waktu yang lain, Syeikh Ismail al-Minankabawi juga menerima baiah dan tawajjuh secara langsung daripada Syeikh Khalid al-'Utsmani al-Kurdi. Dari mula nama inilah terdapat istilah al-Khalidiyah dalam Thariqat Naqasyabandi kerana Syeikh Khalid al-'Utsmani al-Kurdi adalah seorang Mujaddid (pembaharu) dalam tarekat yang sangat terkenal itu.
Tercatat dalam sejarah bahawa Syeikh Ismail al-Minankabawi adalah seorang ulama yang sangat kuat melakukan ibadah, selain aktif beramal dengan Thariqat Naqasyabandiyah Khalidiyah dan Thariqat Syaziliyah, beliau aktif mengajar, mengarang, tilawah al-Quran, pelbagai wirid dan zikir sama ada siang mahu pun malam sehinggalah beliau wafat di Mekah tahun 1280 Hijrah/1863 Masihi. Tidak tercatat sesuatu pekerjaan yang dilakukannya sepanjang siang dan malam selain yang tersebut itu.
Penulisan
Karya Syeikh Ismail al-Minankabawi berupa kitab mahu pun risalah, yang ditemui adalah sebagai berikut:
1. Ar-Rahmatul Habithah fi Zikri Ismiz Zati war Rabithah, diselesaikan pada tahun 1269 Hijrah. Kandungannya membicarakan tasawuf, khusus mengenai rabithah secara mendalam. Kitab ini merupakan terjemahan sebuah karya murid beliau sendiri, seorang Arab yang bernama Syeikh Husein bin Ahmad ad-Dausari yang meninggal dunia dalam tahun 1242 Hijrah dalam usia hanya 39 tahun. Daripada terjemahan kitab ini, kita banyak memperoleh informasi tentang diri Syeikh Ismail al-Minankabawi. Di antara petikan kalimatnya, ``Dan adalah demikian itu, dengan mengerjakan yang dia yang amat hina Ismail ibni Abdullah, yang Syafie mazhabnya, al-Asy'ari akidahnya, yang Syazili thariqatnya, kemudian lagi Naqsyabandi al-Khalidi thariqatnya juga, yang menumpang ia atas ahli ilmi di dalam tanah haram yang Makki, yang maha mulia ia. Barang ditobatkan (oleh) Allah juga atasnya dan maaf daripada-Nya oleh Tuhannya yang amat murah, lagi amat penyayang. Dan adalah demikian itu di dalam Kampung Teluk Belanga dengan pertolongan Syah Amir yang dibesarkan dan ikutan yang dimuliakan ialah Amir Ibrahim bin al-Marhum Amir Abdur Rahman at-Tamanqum Seri Maharaja.'' Yang dimaksudkan dengan perkataan `at-Tamanqum' ialah Temenggung. Dicetak oleh Mathba'ah al-Miriyah, Mekah, akhir Jamadilawal 1325 Hijrah, diusahakan oleh Syeikh Abdullah al-Baz.
2. Risalah Muqaranah Sembahyang, tanpa tarikh. Kandungannya membicarakan niat sembahyang. Cetakan pertama oleh Mathba'ah al-Bahiyah al-Mashriyah, 1309 Hijrah. Dicetak atas zimmah Umar bin Khathib Abdus Shamad al-Jawi, Jiyad. Selanjutnya ada cetakan pertama yang dikombinasi cetak dengan Bulughul Maram karya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1310 Hijrah.
3. Kifayatul Ghulam fi Bayani Arkanil Islam wa Syurutihi, tanpa tarikh. Kandungannya membicarakan fikah bahagian rubu' ibadat. Terdapat berbagai-bagai edisi cetakan, di antaranya oleh Mathba'ah Mustafa al-Baby al-Halaby, Mesir, 1340 Hijrah. Kitab ini ditashih oleh beberapa orang di antaranya, Haji Abdullah bin Ibrahim al-Qadhi (Kedah).
4. Al-Muqaddimatul Kubra allati Tafarra'at minhan Nuskhatus Shughra, tanpa tarikh. Hanya terdapat tahun selesai penyalinan naskhah pada hari Selasa, sesudah sembahyang Zohor pada 15 Jamadilawal 1305 Hijrah di Mekah oleh `Abdus Shamad Kelantan. Kandungannya membahas ilmu akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah secara mendalam. Cetakan pertama oleh Mathba'ah al-Amiriyah, Bulaq, Mesir, tertulis di halaman depan dinyatakan tahun 1309 Hijrah, dan di halaman akhir dinyatakan Rabiulakhir 1310 Hijrah. Di bahagian tepi dicetak kitab berjudul Muqaddimatul Mubtadin oleh pengarang yang sama. Pada halaman akhir dicatat sebagai penjual ialah Syeikh Abdullah al-Baz di Kampung Babus Salam, Mekah. Kitab ini ditashih Syeikh Ahmad al-Fathani.
5. Muqaddimatul Mubtadin, diselesaikan pada hari Rabu 30 Safar, sesudah sembahyang Zohor, tanpa menyebut tahun. Kandungannya membahas ilmu akidah secara mendalam. Dicetak di bahagian tepi kitab Al-Muqaddimatul Kubra.
6. Mawabib Rabbil Falaq Syarh Bintil Milaq. Kandungannya membicarakan tasawuf, merupakan terjemahan dan syarah Qashidah al-'Arif Billah al-Qadhi Nashiruddin ibni Bintil Milaq asy-Syazili. Sebahagian besar kandungannya membicarakan Thariqat Syaziliyah. Kitab ini
termasuk dalam kategori kitab nadir, telah lama tidak terdapat dalam pasaran kitab. Saya memperoleh kitab ini pertama sekali daripada bekas milik Syeikh Abdul Ghani bin Abdul Hamid, Pinang Baik, Selayang, Selangor Darul Ehsan, tarikh 28 Rejab 1417 Hijrah/9 Disember 1996 Masihi. Dicetak oleh Mathba'ah Makkah al-Mahmiyah, pertengahan Zulkaedah 1306 Hijrah.
Kesimpulan
Sewaktu Syeikh Ismail bin Abdullah al-Minankabawi wafat, beliau meninggalkan dua orang anak yang menjadi ulama, iaitu Syeikh Azhari (wafat 1303 Hijrah/1886 Masihi) dan Syeikh Muhammad Nur (1313 Hijrah/ 1895-6 Masihi). Syeikh Azhari bin Syeikh Ismail al-Minankabawi ketika wafat meninggalkan dua orang anak; Salim dan Ismail. Syeikh Muhammad Nur bin Syeikh Ismail al-Minankabawi pula memperoleh dua anak perempuan. Salah seorang daripadanya menjadi isteri kepada Syeikh Tahir Jalaluddin al-Minankabawi al-Azhari, tokoh tajdid yang sangat terkenal itu.
Kedua-dua anak Syeikh Ismail al-Minankabawi yang tersebut meneruskan aktiviti beliau, di rumah pusaka beliau yang dinamakan Rumah Waqaf Al-Khalidi di Mekah, menjadi tumpuan atau tempat berkumpul orang-orang yang berasal dari dunia Melayu, terutama Ikhwanut Thariqah dan Kerabat Diraja Riau-Lingga. Bahawa Rumah Waqaf Al-Khalidi di Mekah itu dibina, dimulai oleh Syeikh Ismail al-Minankabawi sendiri, dan sewaktu Raja Haji Ahmad bin Raja Haji ke Mekah pada tahun 1243 Hijrah/1828 Masihi, beliau menghulurkan dana wakaf yang banyak kepada Syeikh Ismail al-Minankabawi. Dana wakaf tersebut kemudian diteruskan oleh beberapa orang Kerabat Diraja Riau-Lingga, para murid beliau.
Murid Syeikh Ismail al-Minankabawi daripada golongan elit Kerajaan Riau-Lingga sangat ramai, sama ada pimpinan tertinggi kerajaan, golongan cerdik pandai mahu pun golongan lainnya. Di antara mereka seumpama Raja Haji Abdullah, Yang Dipertuan Muda Riau Lingga ke-IX, Raja Ali Haji, pengarang Melayu yang sangat terkenal dan lain-lain.
Kesimpulan dari seluruh perbincangan bahawa Thariqat Naqsyabandiyah aliran al-Khalidiyah di dunia Melayu, dimulai oleh Syeikh Ismail al-Minankabawi di Mekah, kemudian beliau sendiri datang mendirikan pusat-pusat penyebarannya di Istana Pulau Penyengat, Riau, di Istana Temenggung Ibrahim di Teluk Belanga, Singapura, di Kampung Semabok, Melaka dan Kampung Upih di Pulau Pinang dan tempat-tempat lainnya.

Syeikh Abdul Wahab Rokan

Biografi

Riwayat Hidup dan Pendidikan Syekh Abdul Wahab Rokan
Nama lengkap Syekh Abdul Wahab Rokan adalah Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi an-Naqsyabandi, terkenal dengan sebutan “Tuan Guru Babussalam (Besilam)”, Faqih Muhammad gelarnya, dan Abu Qosim demikian nama kecilnya. Beliau dilahirkan pada tanggal 19 Rabi’ul Akhir 1230 H. bertepatan dengan 28 September 1811 M. di Kampung Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Sumatera Timur, (Sekarang Propinsi Riau). Dan wafat pada tanggal 21 Jumadil awal 1345 H. bertepatan dengan 27 desember 1926 M. di Babussalam, Tanjungpura, Sumatera Timur (Sekarang Sumatera Utara) .
Ayahnya bernama Abdul Manaf bin M. Yasin bin Maulana Tuanku Haji Abdullah Tembusai, keturunan dari raja-raja Siak. Sedangkan ibunya bernama Arba’iah binti Datuk Dagi binti Tengku Perdana Menteri bin Sultan Ibrahim mempunyai pertalian darah dengan Sultan Langkat.
Ketika wafatnya, Haji Abdullah Tembusai meninggalkan 670 anak dan cucu. Salah seorang putra beliau bernama M. Yasin menikah dengan seorang wanita dari suku Batu Hampar, dari hasil pernikahan ini kedua sepasang suami istri ini melahirkan seorang anak laki-laki yang bernama Abdul Manaf, yaitu ayah kandung Syekh Abdul Wahab Rokan.
Dengan adanya gambaran tersebut di atas akan jelaslah bagi kita, bahwa Syekh Abdul Wahab Rokan ini adalah keturunan dari bangsawan, dan kebangsawannya itu akan nampak terlihat dengan jelas di dalam kiprah beliau sebagai pemimpin dan sekaligus seorang ulama
Pendidikan Syekh Abdul Wahab Rokan
Basis atau dasar pendidikan bagi seorang tokoh yang berkecimpung dalam dunia pendidikan dan dakwah tentu sangat penting, hal itu dikarenakan akan berkaitan dengan kebijakan yang akan menjadi landasan berfikir dan bertindak. Sosok tokoh yang mempunyai latar belakang pendidikan dan pengalaman yang tinggi dan luas tentunya akan mampu melahirkan kader-kader yang tangguh.
Permulaan berguru Syekh Abdul Wahab Rokan adalah pada Tuan Baqi di tempat kelahirannya, kemudian belajar al-Qurân kepada H.M. Sholeh, seorang alim besar asal Minangkabau sampai tamat. Kemudian Syekh Abdul Wahab Rokan melanjutkan studinya ke Tembusai dan berguru dengan Maulana Syekh Abdullah Halim dan Syekh Muhammad Shaleh Tembusai. Dari keduanya dipelajarinya berbagai ilmu dalam bahasa arab, antara lain kitab-kitab Fathul Qorîb, Minhâju al-Thâlibîn, Iqna’ (Fiqih), Tafsîr Jamâl, Nahwu, Sharaf, Balâghah, Manthiq, tauhîd, Arûdh dan lain-lain. Karena kepintarannya dalam menyerap ilmu-ilmu dari gurunya dan penguasaan terhadap ilmu-ilmu tersebut, digelarlah ia dengan “Faqih Muhammad”, artinya: orang yang ahli dalam ilmu Fiqih.
Setelah menamatkan studinya dengan dua ulama terkemuka tersebut, pada tahun (1846 M). Abu Qosim (nama kecil Syekh Abdul Wahab Rokan) berangkat ke Semenanjung Melayu untuk menambah ilmu pengetahuan dan tinggal di Sungai Ujung (Simunjung), Negeri Sembilan. Di tempat ini ia belajar kepada Syekh Muhammad Yusuf Minangkabau, seorang ulama terkemuka yang berasal dari minangkabau. Syekh H. Muhammad Yusuf kemudian diangkat sebagai mufti di Kerajaan Langkat dan digelari “Tuk Ongku”. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari Faqih Muhammad berdagang di kota Malaka.
Setelah dua tahun di Malaka ia meneruskan pelajaran ke Mekkah. (1848 M). Selama enam tahun di Mekkah ia belajar kepada ulama-ulama terkenal seperti Saidi Syarif Zaini Dahlan (mufti mazhab Syafi’i), seorang ulama terkenal berasal dari Turki. Kemudian ia juga berguru dengan Syekh Sayyid Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki dan ulama bangsa Arab lainnya. Kepada ulama-ulama Jawi Atau Asia ia belajar kepada Syekh Muhammad Yunus bin Abdurrahman Batubara Asahan, Syekh H. Zainuddin Rawa, Syekh Ruknuddin Rawa, Syekh Muhammad bin Ismail Daud al-Fathani, Syekh Abdul Qodir bin Abdurrahman Kutan al-Kalantani, Syekh Wan Ahmad bin Muhammad Zain bin Musthafa al-Fathani dan lain-lain. Khusus tentang tarekat Naqsyabandiyah ia belajar kepada Syekh Sulaiman Zuhdi. Ia mendapat surat ijazah sebagai “Khalifah Besar Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah”, dan diberi nama Syekh Haji Abdul Wahab Rokan Jawi al-khalidi an-Naqsyabandi. Kemudian, Syekh Sulaiman Zuhdi menyuruh Haji Abdul Wahab Rokan kembali ke tanah airnya untuk menyebarkan Tarekat Naqsyabandiah.
Di namakan Syekh Abdul Wahab dengan “Rokan”, karena ia berasal dari daerah Rokan, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau. Di namakan dengan “al-Khalidi”, karena ia menganut tarekat periode Syekh Khalid sampai pada masanya. Dan dinamakan ia dengan “an-Naqsyabandi”, karena ia menganut tarekat yang ajaran dasarnya berasal dari Syekh Bahauddin Naqsyabandi.
Menurut silsilah urutan pengambilan tarikat naqsyabandiyah, Syekh Abdul Wahab Rokan adalah keturunan ke-32 dari Rasulullah Saw. Adapun silsilah tarekat yang dianut oleh Syekh Abdul Wahab Rokan ini, dapat dilihat pada bait-bait sya’ir beliau di bab lampiran.
Silsilah Keturunan Syekh Abdul Wahab Rokan
Syekh Abdul Wahab Rokan mempunyai istri dua puluh tujuh orang. Mereka itu adalah:
(1) Mariah binti Datuk Jaya Perkasa Abdul Jalil, asal Kubu. Mendapat satu orang anak bernama Abdullah. (2) Khadijah binti Abdullah, asal Kualuh. Anaknya: Ahmad, H. Yahya Afandi, dan H. bakri. (3) Halimah binti Datuk Jaya Perkasa Muhammad Dali, asal Kubu. (4) Sa’diyah binti H.A. Manan. Anaknya: Hj. Roqoyyah, H. Abdul Jabbar, Nafisah, dan Ibrohim. (5) Zubaidah binti Nusul, asal Kubu. Anaknya: Musa, Harun, Hamzah, M. Yunus, dan Matin. (6) Zahrah (anak seorang juru tulis dari Negeri Tembusai). (7) Siti Zainab binti Sultan Abdul Hamid, asal Tembusai. Anaknya: Abdul Khaliq dan Abdul Qohar. ( Maryam binti Syekh Zainuddin, asal Tanah Putih. Anaknya: Suhil, cantik, Zamrud, Faqih Tambah, Faqih Na’im, dan Sufinah. (9) Badariyah, asal Kubu. Anaknya: FaqihTuah. (10) Rukiah binti Abdullah, asal Kubu. Anaknya: Hj. Lathifah, Atikah, Sidiq, H. Ahmad Mujur. (11) Hj. Khadijah Rawa. Anaknya H. Zakaria (12) Namin, Asal Panai. Anaknya: Habibah. (13) Jami’ah, asal Labuhan Tangga. (14) Hawa, asal Deli. (15) Fatimah, asal Tembusai. (16) Aisyah binti H. Ismail, asal Tembusai. Anaknya 7 Orang akan tetapi meninggal waktu kecil. (17) Radhiyah binti khalifah Abu Bakar, asal Tembusai. (1 Siti Indah Rupa, asal Tembusai. (19) Kino, asal Tanah Putih. (20) Hasnah, asal Habsyi. (21) Sa’adah, asal Habsyi. (22) Peti, asal Tembusai. Anaknya: Ismail, M. Daud, Aisyah, Usamah, dan H. Madyan. (23) Padi, asal Langkat. Anaknya: Siti Hawa, Faqih Mahadi, Mansur, dan Abdul Jalil. (24) Asiah, Asal Batu Pahat malaysia. Anaknya: Suhil, Syukur, dan Cahaya. (25) Maryam, asal Tanah Putih. Anaknya: H. Mu’im al-Wahhab, Maimun. (26) Khuzaimah (Taemah) binti H. Abdur Rahman, asal Kubu. (27) Siti, Asal Batu Pahat Malaysia. Anaknya: Hj. Jami’ah (Kembang), dan Hj. Rahimi
Pada tahun 1345 H. jumlah anak-anak Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan tercatat 26 orang, terdiri dari 14 laki-laki dan 12 perempuan.
Laki-laki: (1) Syekh Haji Yahya, (2) Syekh Haji Bakri, (3) Syekh Haji Harun, (4) Syekh Haji Abdul Jabbar, (5) Syekh Faqih Tuah, (6) Syekh Haji Nashruddin, (7) Syekh Faqih Yazid, (Faqih Tambah), ( Syekh Faqih Mahadi, (9) Syekh Faqih Na’im, (10) Syekh Haji Mu’im al-Wahhab, (11) Syekh Mansur, (12) Syekh Haji Ahmad Mujur, (13) Syekh Muhammad Daud, (14) Syekh Haji Madyan al-Wahhab.
Perempuan: (1) Hajjah Roqoyyah, (2) Habibah, (3) Cantik, (4) Zamrud, (5) Asmah, (6) Hajjah Latifah, (7) Atikah, ( Nafisah, (9) Hawa, (10) Aisyah, (11) Hajjah Kembang, (12) Hajjah ‎Rahimi.
Adapun murid-murid Syekh Abdul Wahab Rokan yang diangkat menjadi khalifah dan turut andil meneruskan cita-cita beliau dalam penyebaran dakwah Islam dan ajaran tarekat adalah sebagai berikut:
Langkat: Khalifah Sultan Musa al-Muazzamsyah penguasa tertinggi Kerajaan Langkat, Khalifah H. Muhammad Arsyad.
Deli Serdang: Khalifah Abdul Majid, Khalifah Kasim, Khalifah H.M. Daim, Khalifah H. Abbas.
Tebing Tinggi: Khalifah Tuanku Haji
Asahan: Khalifah H. Muhammad Nur, Khalifah Ramadhan, Khalifah Abdur Rahman, Khalifah H. M Nur bin H. M. Tahir.
Labuhan Batu, (Bilah): Khalifah H. Abdul Muthalib, Khalifah H. Abdur Rauf, Khalifah Abbas Khalifah H. Sulaiman, Khalifah Ahmad, Khalifah Ja’far, Khalifah H. M. Nur, Khalifah M. Yusuf, Khalifah Junid. (Kota Pinang) Khalifah Tuanku Haji, Khalifah H. M. Thaib, Khalifah Maarif, Khalifah M. Arif, Khalifah Daim, Khalifah Aman, Khalifah Ibrahim.
Tapanuli Selatan: Khalifah H. Abdul Manan, Khalifah H. M. Arsyad, Khalifah M. Nur, Khalifah Kasim, Khalifah Abdul Kadir, Khalifah Mukmin, Khalifah H. Sulaiman Khalifah Malim Itam, Khalifah M. Rasyid, Khalifah M. Salih, Khalifah Ahmad, Khalifah Yakin, Khalifah Sulaiman, Khalifah Ramadhan.
Aceh, (Alas): Khalifah Panjang.
Riau, (Kubu): Khalifah H. M. Saleh, Khalifah H.M. Arsyad, Khalifah H. Abdur Razak, Khalifah H. Umar, Khalifah H. Abdul Ghani, Khalifah H.M. Tahir, Khalifah H. Abdul Jabbar, Khalifah Maksum, Khalifah Kamaluddin, Khalifah Fakih Panjang, Khalifah Yatim, Khalifah Sajak, Khalifah Muhammadiyah, Khalifah Rasul, H. M. Said, Khalifah H. Abdul Fattah. (Tembusai): Khalifah Daud, Khalifah H. Usman, Khalifah H. Abdul Wahab, Khalifah Muhammad, Khalifah Abu Bakar, Khalifah Ibrahim, Khalifah H. M Saleh, Khalifah Raja Daud, Khalifah H. Mustafa, Khalifah H. M. Zainuddin, Khalifah H. Abdul Majid, Khalifah Abdul Syukur, Khalifah Tahid, Khalifah H. Mahmud, Khalifah Fakih Kamaluddin, Khalifah Maaruf. (Tanah Putih): Khalifah Abdul Hakim, Khalifah Ali, Khalifah M. Nur, Khalifah Usman, Khalifah M. Zein, Khalifah Ibrahim, Khalifah Junid. (Rambah): Khalifah H. M. Arsyad, Khalifah Itam, Khalifah Hasan, KhalifahYusuf. (Kota Intan): Khalifah Imam Besar, Khalifah Jaah. (Inderagiri): Khalifah Muda, Khalifah Mukmin. (Rawa): Khalifah H. Sulaiman, Khalifah H. Ismail, Khalifah H. Abdur Rahman. (Kampar): Khalifah Thaifuri. (Siak): Khalifah Abd. Ghani
Bangka: Khalifah Toha, Khalifah Sya’ban, Khalifah Abdul Manan, Khalifah Ramadhan, Khalifah H. Abdul Ghani Sulaiman.
Sumatera Barat: Khalifah H. M. Yunus, Khalifah Rajab, Khalifah H. Abdullah, Khalifah Ramadhan.
Jawa Barat: Khalifah H. Usman, Khalifah H. M. Zein.
Malaysia, (Batu Pahat): Khalifah H. Umar, Khalifah H. Zakaria, Khalifah Muhammad, Khalifah H. Muhammad, Khalifah Junid. (Kelantan): Khalifah M. Said. (Selangor): Khalifah H. M. Saleh (Perak): Khalifah M. Syarif.
Cina: Khalifah H. M. Saleh.
Putra Tuan Guru: Khalifah H. Yahya Afandi, khalifah H. Zakaria, Khalifah H. Abdul Jabbar, Khalifah H. Harun, Khalifah M. Daud.
Haul Syekh Abdul Wahab Rokan
Tanggal 21 Jumadil Awal 1345 H. bertepatan dengan 27 Desember 1926 M. adalah tanggal menjadi kenangan bagi seluruh anak, cucu dan murid-murid beliau, itulah tanggal hari beliau menutup mata berpulang kerahmatullah di Babussalam Langkat Sumatera Utara.
Tangisan yang mencekam hati, menusuk dada yang dirasakan oleh anak cucu serta murid-muridnya semua. Akhirnya setiap tanggal 21 Jumadil Awal dijadikan hari pertemuan oleh seluruh murid-muridnya untuk mengenang mutiara-mutiara yang ditinggalkan oleh beliau, terutama ajaran tarekat Naqsyabandiyah yang menyampaikan beliau ke makam waliyullah, yang termasyhur dengan “Kekeramatan Tuan Guru Babussalam”. Hingga sampai saat ini dapat dilihat keramaian oleh para penziarah ke babussalam, terutama hari jumat dan minggu. Mereka datang dengan berbagai macam keperluan dan kepentingan serta bersilaturrahmi dengan penerus atau pengganti-pengganti beliau.
Pertemuan setiap tanggal 21 Jumadil Awal tersebut dikemas dalam satu hajatan besar yang disebut dengan “Haul Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi al-Naqsyabandi” , yang diadakan setiap tahunnya menurut tanggal dan bulan Hijriyah.
Pada setiap peringatan Haul ini, Babussalam melimpah ruah oleh arus manusia yang berdatangan dari segenap jurusan, bahkan dari malaysia, Singapura, Berunai, Filipina dan Thailand juga tak ketinggalan. Tamu-tamu ini adalah murid-murid dan jama’ah murid-murid beliau, bahkan banyak yang tidak diundang. Mereka datang karena cinta dan simpatik kepada beliau dan terhadap Babussalam. Begitulah kebesaran Syekh Abdul Wahab Rokan yang akhirnya meninggalkan nama baik Babussalam yang diwarisi oleh anak cucu dan jama’ah-jama’ah beliau.
Setelah Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan wafat, kedudukan mursyid dan nadzir Babussalam dipercayakan kepada putra-putra beliau. Mereka yang pernah memangku jabatan sebagai Tuan Guru Babussalam dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Syekh Abdul Wahab Rokan al-khalidi al-Naqsyabandi, (Tuan Guru I )
2. Syekh Haji Yahya Afandi (anak, Tuan Guru II)
3. Syekh Haji Abdul Manaf (cucu, Tuan Guru III )
4. Syekh Haji Abdul Jabbar (anak, Tuan Guru IV )
5. Syekh Haji Muhammad Daud (anak, Tuan Guru V )
6. Syekh Haji Faqih Yazid (Faqih Tambah) (anak, Tuan Guru VI )
7. Syekh Haji Muim al-Wahhab (anak, Tuan Guru VII )
8. Syekh Haji Madyan al-Wahhab (anak, Tuan Guru VIII )
9. Syekh Haji Anas Mudawwar (cucu, Tuan Guru IX ‎)
10. Syekh Haji Hasyim al-Syarwani (cucu, Tuan Guru X ).
Pengganti Syekh Abdul Wahab Rokan yang pertama sebagai Tuan Guru Babussalam adalah putranya yang tertua, Syekh H. Yahya Afandi. Kedudukannya sebagai mursyid dan nâzdir Babussalam berusia pendek, memangku jabatan ini selama 4 tahun (wafat 1929 M.) dalam usia 56 tahun. Kemudian ia digantikan oleh putranya sendiri, Abdul Manaf, yang juga masa kepemimpinannya relatif singkat. Pada gilirannya ia digantikan oleh seorang khalifah tertua yang bernama Muhammad sa’id, yang telah diangkatnya terlebih dahulu untuk menggantikannya bila ia telah tiada. Abdul manaf meninggal dunia di tanah suci Mekkah ketika melaksanakan ibadah haji dan dimakamkan di sana.
Syekh H. Abdul Jabbar merupakan penerus selanjutnya, ia dipilih menjadi mursyid oleh suatu pertemuan semua khalifah yang hadir di Babussalam. Ia wafat pada 19 Jumadil Akhir 1361 H. setelah memangku jabatan mursyid dan nâzdir selama 6 tahun. Inilah pergantian kepemimpinan yang terakhir yang tampaknya berjalan tanpa persaingan. Pergantian-pergantian kepemimpinan berikutnya diwarnai persaingan di dalam keluarga berjalan seiring dengan pertikaian politik, karena berbagai kelompok berusaha mengendalikan Babussalam dan menjadikan wibawa nama besarnya itu sebagai asset politik.
Ketika Syekh Abdul Jabbar wafat (1943 M.) wakilnya (yang juga saudaranya), Syekh Muhammad Daud, menggantikannya sebagai pemimpin Babussalam. Pada waktu terjadi aksi meliter Belanda yang pertama (1947 M.) setelah kekalahan Jepang, Syekh Muhammad Daud meninggalkan Babussalam dan kembali lagi pada tahun 1951 M. Sementara itu khalifah yang lain yang juga saudaranya, Syekh Faqih Tambah (Yazid), telah mengambil kedudukan tertinggi di Babussalam. Kedudukannya sebagai mursyid dan nâdzir pada waktu itu dikukuhkan oleh sebagaian besar khalifah, dan ahli-ahli tarekat pada 1952 M.
Syekh Muhammad Daud, tetap mengangap dirinya sebagai pemimpin yang sah, sementara Faqih Tambah menyatakan dirinya juga sah dan tidak sudi melepaskan kedudukannya kepada Syekh Muhammad Daud ketika ia kembali lagi ke Babussalam. Sejak saat itu terjadilah konflik yang berkepanjangan yang belum ada penyelesaiannya sampai saat sekarang ini.
Konflik ini telah menjadikan Babussalam terpecah menjadi dua, pertama, kelompok yang menyatakan bahwa Syekh Muhammad Daud yang sah menjadi mursyid dan nâzdir Babussalam, dan yang lain menyatakan bahwa Faqih Tambahlah yang sah memangku jabatan tersebut. Pada akhirnya Syekh Muahammad Daud mendirikan rumah suluk-nya sendiri, yang letaknya tidak beberapa jauh dari rumah suluk yang dipimpim oleh saudaranya Syekh Faqih Tambah.
Usaha untuk menengahi polemik yang terjadi di antara keduanya, baik dari kalangan keluarga, organisasi Islam maupun dari kalangan pejabat pemerintah tetap tidak membuahkan hasil. Hingga keduanya di panggil kehadhirat Allah Swt. masing-masing tahun 1971-1972 M. keduanya tetap bertindak sebagai mursyid dan nâzdir di Babussalam.
Sepeninggal keduanya, terpilihlah putra Syekh Abdul Wahab Rokan yang lain, Syekh Mu’im al-Wahhab. Pelantikan Syekh Mu’im sebagai mursyid dan nâzdir, pimpinan tertinggi (Tuan Guru Babussalam VII), di hadiri oleh ribuan umat Islam yang datang dari dalam maupun luar negeri. Ia memangku jabatan tersebut lebih kurang 9 tahun (1972-1981 M). Selanjutnya ia di gantikan oleh putra terakhir Syekh Abdul Wahab Rokan, Syekh Madyan al-Wahhab. Walaupun demikian, Babussalam tetap terpecah dua. Rumah sulûk peninggalan Syekh Muahammad Daud, terus di kelola oleh putranya Syekh Haji Tajuddin.
Dua orang cucu terkemuka Syekh Abdul Wahab Rokan, Syekh Faqih Shaufi bin Syekh Haji Bakri dan Syekh Anas Mudawwar bin Syekh Muhammad Daud, merupakan dua calon terkuat dan di pandang layak untuk memimpin Babussalam sepeninggal Syekh Madyan al-Wahhab. Pemilihan ini tidak hanya melibatkan kalangan keluarga dan khalifah, tetapi juga melibatkan pejabat pemerintah. Dukungan politik yang diberikan oleh pemerintah kepada Syekh Anas Mudawwar merupakan faktor terkuat terpilihnya ia sebagai pimpinan tertinggi di Babussalam.
Keluarga besar Babussalam kembali disibukkan dengan pemilihan calon pemimpin baru sepeninggal Syekh Anas Mudawwar (1997 M.). Masing-masing Bani mengirim utusannya (calon) yang di pandang layak dalam pemilihan tersebut. H. Ahmad Fuad Said bin Syekh Faqih Tuah dan H. Hasyim al-Syarwani bin Syekh Mu’im al-Wahhab merupakan dua calon terkuat yang di pandang memenuhi syarat menjadi pemimpin Babussalam pada saat itu. Pada akhirnya H. Hasyim al-Syarwani terpilih menjadi mursyid dan nâzdir Babussalam menggantikan Syekh H. Anas Mudawwar setelah sebelumnya H. Ahmad Fuad Said mengundurkan diri dalam pencalonan tersebut

Syeikh Yusuf Makasar

Syeikh Yusuf lahir tahun 1036 H/1627 M. Jika kita dahulukan catatan tahun Masihi, bererti Syeikh Yusuf lahir 1626 M/1035 H. Dari sini dapat dibuktikan bahawa yang telah ditulis selisih selama setahun. Apa yang betul secara pasti tahun kelahiran Syeikh Yusuf terdapat dua perbandingan tahun 1036 H = 1627 M dengan tahun 1626 M = 1035 H. Saya berpendapat, oleh sebab masyarakat Islam zaman itu menggunakan tahun Hijrah maka catatan yang betul adalah 8 Syawal 1036 H/23 Jun 1627. Catatan tahun wafat Muhammad Baqi Billah al-Lahori juga ada dua. Ada orang yang menyebut tahun 1012 H/1603 M, ada pula yang menyebut tahun 1013 H/1604 M).

Rasanya saya masih berkemampuan mengemukakan hujah-hujah ilmiah untuk meniti kebenaran dan pembelaan atas tulisan-tulisan saya supaya dapat dipelajari oleh pihak-pihak yang memerlukannya. Mohd Nasir menulis dalam kertas kerjanya hlm. 15, “... dan juga kesilapan mengidentifikasikan antara dua individu yang berlainan (antara Syeikh Abdul Baqi al-Mizjaji dengan Muhammad Abdul Baqi / Baqi Billah al-Lahori) telah membawa pengertian yang salah bagi pihak ustaz Wan Mohd. Shaghir sehingga beliau mengatakan ketika menerangkan Tarekat Naqsyabandiyyah yang dibawa oleh Syeikh Ismail al-Minankabawi bahawa Syeikh Muhammad Baqi Billah al-Lahori adalah guru kepada Syeikh Yusuf al-Mankatsi (al-Maqassari) Taj al-Khalwati.”

Kenyataan Syeikh Muhammad Baqi Billah al-Lahori adalah guru kepada Syeikh Yusuf al-Mankatsi bukanlah merupakan pendapat saya, tetapi adalah berdasarkan beberapa manuskrip yang tersebut di bawah ini.

Rujukan yang pertama ialah manuskrip Kitab Ar-Risalah an-Naqsyabandiyah Yusuf li al-Qadhi Bilad Buni (maksudnya: Bone, Sulawesi Selatan, pen:), koleksi saya sendiri, ditulis dalam bahasa Arab. Terdapat salasilah lengkap Tarekat Naqsyabandiyah, disebut nama gurunya Mahdi az-Zaman al-Khuji Muhammad al-Baqi al-Lahuri (Lahore, India, pen:). Diperkukuhkan lagi dalam manuskrip Zubdah al-Asrar fi Tahqiq Ba'dhi Masyarib al-Akhyar, juga koleksi peribadi saya sendiri, beliau tulis nama selengkapnya Syaikhuna (maksudnya guruku, pen:) al-Imam Muqtadha al-Anam al-Wali al-Arif Billahi Taala Maulana asy-Syeikh Muhammad Baqi an-Naqsyabandi al-Yamani. Diperkukuhkan lagi dalam manuskrip Zubdah al-Asrar, manuskrip Universiti Leiden Or. 7025 disebut oleh Nabilah Lubis dalam buku Syeikh Yusuf, Al-Taj Al-Makasari hlm. 132 pada catatan nota hujung nombor 55, menggunakan nama Maulana asy-Syeikh Muhammad al-Baqi Billah.

Ia juga menggunakan nama yang sama iaitu Maulana asy-Syeikh Muhammad Baqi an-Naqsyabandi al-Yamani, hlm. 114 teks Arab dan hlm. 115 teks bahasa Indonesia. Dalam Zubdah al-Asrar, manuskrip dalam bahasa Jawa, Naskhah Jakarta A 45, nama yang disebut juga sama iaitu Syeikh Muhammad Baqi Naqisybandi Tariqatane, Yamani Desane.

Hamka dalam Dari Perbendaharaan Lama menggunakan nama Abi Abdillah Muhammad Abdul Baqi (hlm. 40). Terkini, baru-baru ini (April 2006), Syamsul Bahri Andi Galigo dalam kertas kerjanya juga menggunakan nama Syeikh Abu Abdillah Muhammad Abdul Baqiy (Prosiding Nadwah Ulama Nusantara III, hlm. 641). Tidak satu nama pun daripada rujukan-rujukan di atas menyebut nama Syeikh Abdul Baqi al-Mizjaji (hlm. 15) ataupun Muhammad bin Muhammad al-Mizjaji al-Yamani (hlm. 16) seperti yang disebut oleh Mohd. Nasir.

Walau bagaimanapun, saya tidak menafikan memang ada karya Syeikh Yusuf selain yang disebut itu memakai ‘al-Mazjaji’ (al-Mizjaji) pada hujung nama, selengkapnya seperti Syeikh Abu Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syeikh al-Kabir al-Mazjaji (al-Mizjaji) al-Yamani az-Zaidi an-Naqsyabandi.

Nama ini beliau sebut dalam karyanya judul Sainah an-Najah, juga disebut oleh Prof. Dr. Tudjimah dalam buku Syeikh Yusuf Makasar, Riwayat dan Ajarannya (hlm. 16 dan 202). Bagi saya, masih dalam ‘kemungkinan’ ada dua nama yang serupa atau hampir serupa dalam satu zaman, yang seorang terdapat pada hujung namanya ‘al-Mazjaji’ (al-Mizjaji) dan yang seorang lagi tidak. Saya anggap yang terdapat ‘al-Mazjaji’ (al-Mizjaji) pada hujung nama masih sangat lemah kerana sepanjang penelitian saya tidak seorang pun penulis yang menyebut tahun lahir ataupun tahun wafatnya.

Mohd. Nasir dalam kertas kerjanya juga tidak menyebut tahun lahir ataupun tahun wafat ‘al-Mazjaji’ yang dikemukakannya sebagai guru Syeikh Yusuf Taj al-Khalwati. Perkara itu serupa dengan nama sehingga meragukan dan timbul pertanyaan apakah hanya seorang tokoh atau dua orang, atau lebih, bukan berlaku terhadap ulama yang diriwayatkan di atas saja, tetapi juga terjadi pada ulama-ulama lain. Sebagai contoh Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri ataupun Syeikh Abdur Rauf Singkel.

Apakah hanya seorang Syeikh Abdur Rauf atau dua orang? Perkara ini termasuk dalam polemik antara Prof. Dr. Hamka dengan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan. Sangat panjang bicaranya dalam buku Buya Hamka berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao terbitan Bulan Bintang, Jakarta, 1971.

Ada pun nama yang disebut dalam salasilah Syeikh Ismail al-Minankabawi dalam konteks yang dipersoalkan ialah asy-Syeikh al-Imam Muhammad Baqi Billah yang dapat dirujuk selengkapnya dalam ar-Rahmah al-Habitha fi Zikr Ism az-Zat wa ar-Rabithah (Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, 1425 H/2004 M, hlm. 83). Masih banyak perkara dalam kertas kerja Mohd. Nasir perlu saya bahas tetapi kerana kekurangan ruangan terpaksa saya tinggalkan saja, dan akan saya bahas lebih lengkap dalam buku tentang Syeikh Yusuf

Raja Haji

MASYARAKAT Melayu masih ramai belum mengetahui bahawa di Melaka ada beberapa orang tokoh dunia Melayu yang terkorban sebagai syuhada kerana membela kemuliaan Islam dan bangsa Melayu.
Mereka sanggup berkorban apa saja, termasuk harta dan nyawa, demi berjuang mengusir penjajah Portugis mahupun Belanda. Di antara sekian ramai yang gugur sebagai syuhada termasuklah seorang ‘ulama’ sufi dunia Melayu yang paling terkenal. Beliau bermakam di Melaka. Ulama yang dimaksudkan ialah Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i yang terkorban sebagai syuhada kerana berperang dengan Portugis.
Sejarah yang penting tentang tokoh besar yang syahid fisabilillah di Melaka juga ialah Raja Haji bin Upu Daeng Celak yang terkorban kerana melawan penjajah Belanda. Saya berpendapat bahawa Raja Haji ialah pahlawan dunia Melayu yang terbesar atau teragung dan terhebat semacam Hang Tuah memandangkan daerah operasinya di daratan dan maritim yang amat luas. Raja Haji inilah yang menjadi topik perbicaraan dalam artikel ini.
Daripada sebelah ayahnya, Raja Haji berasal daripada keturunan raja-raja di tanah Bugis, negeri Luwuk. Di sebelah ibunya pula berasal daripada keturunan raja-raja Melayu. Raja Haji lahir di Kota Lama, di Hulu Sungai Riau, pada tahun 1139 H/1727 M dan wafat pada hari Rabu di Teluk Ketapang, Melaka, 19 Rejab 1198 H/8 Jun 1784 M.
Hubungan dengan ulama
Raja Haji walaupun bukan seorang ulama, namun dibicarakan juga dalam ruangan ini, disebabkan beberapa faktor. Pertama adalah kerana beliau sempat bergaul dengan beberapa orang ulama. Dipercayai beliau sempat berjumpa dengan Saiyid Husein al-Qadri di Mempawah, iaitu guru ayah saudaranya Upu Daeng Menambon. Putera Upu Daeng Menambon bernama Gusti Jamiril ini mendapat pendidikan Islam yang padu. Gusti Jamiril adalah saudara sepupu Raja Haji, kedua-duanya sempat bergaul. Dengan demikian tata cara pergaulan Islam, sekali gus amalan keilmuan saudara sepupunya itu, berpengaruh terhadap Raja Haji.
Dalam masa yang sama Raja Haji dan Gusti Jamiril sempat belajar kepada Syeikh Ali bin Faqih yang berasal dari Patani. Beliau ini ialah Mufti Mempawah yang kedua, menggantikan Saiyid Husein al-Qadri. Makam beliau disebut ‘Keramat Pokok Sena’ terletak di Perkuburan Kampung Pedalaman Mempawah. Hubungan Raja Haji dengan Saiyid Abdur Rahman bin Saiyid Husein al-Qadri, Sultan Pontianak yang pertama juga sangat dekat. Saiyid Abdur Rahman al-Qadri ialah suami Utin Cenderamidi bin Upu Daeng Menambon. Faktor kedua, daripada keturunan Raja Haji ramai yang menjadi ulama di antaranya Raja Ali Haji (cucu beliau) yang sangat terkenal itu. Keturunan beliau yang turut menjadi ulama ialah Raja Haji Umar bin Raja Hasan bin Raja Ali Haji dan lain-lain.
Gelaran yang disandang
Raja Haji menyandang pelbagai gelaran yang diberikan antaranya ialah Engku Kelana (1747M - 1777M), Pangeran Sutawijaya, Yang Dipertuan Muda Riau-Johor IV (1777M - 1784M), Raja Api, Marhum Teluk Ketapang, Marhum Asy-Syahid fisabilillah. Yang terakhir, secara rasmi atas nama sebuah pemerintahan, Raja Haji dianugerahi gelaran Pahlawan Nasional Indonesia memperoleh Bintang Mahaputera Adipradana oleh Presiden Republik Indonesia di Jakarta pada 11 Ogos 1997.
Tahun 1756M - 1758M Raja Haji bersama sepupunya Daeng Kemboja memimpin Perang Linggi melawan Belanda. Perang Linggi melibatkan pasukan-pasukan Melayu yang berasal dari Linggi, Rembau, Klang, Selangor dan Siak.
Sewaktu Syarif ‘Abdur Rahman al-Qadri memerangi Sanggau, Raja Haji ialah sebagai Pahlawan Perang. Perang berlaku pada 26 Muharam 1192H/24 Februari 1778 M sehingga 11 Safar 1192H/11 Mac 1778 M. Raja Haji pula melantik Syarif Abdur Rahman al-Qadri sebagai sultan yang pertama Kerajaan Pontianak sekali gus Raja Haji menyusun kerangka pentadbiran kerajaan itu.
Raja Haji merupakan satu-satunya pahlawan Nusantara yang pernah menjejak kakinya hampir ke seluruh negeri-negeri Melayu. Di antaranya Terengganu, Pahang, Johor, Selangor, Kedah, Langkat, Inderagiri, Jambi, Muntok/Bangka, Pontianak, Mempawah dan lain-lain. Jika kita bandingkan dengan semua pahlawan di Nusantara, seumpama Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan lain-lain, mereka hanya beroperasi di daratan saja dan tidak mengalami perang maritim. Jika kita bandingkan dengan Sultan Hasanuddin, beliau ialah seorang pahlawan maritim saja, tidak banyak pengalaman dalam peperangan di daratan. Kalau ada hanyalah sekitar Sulawesi Selatan.
Kalau kita banding dari segi yang lain pula, bukan bererti memperkecil-kecilkan pejuang yang lain, tetapi sejarah mencatatkan bahawa ramai pejuang ada yang menyerah kepada penjajah. Ada yang tertangkap kerana ditipu secara licik dan lain-lain. Semua yang tersebut berbeza dengan Raja Haji. Beliau lebih rela mati di medan juang daripada menyerah ataupun tertipu oleh pihak musuh. Pada 18 Jun 1784 M Raja Haji terbunuh sebagai syahid fisabilillah dalam peperangan melawan Belanda pimpinan Jacob Pieter van Braam di Melaka. Pasukan Melayu yang tewas bersama Raja Haji dianggarkan sekitar 500 orang. Sebagaimana pada mukadimah yang telah saya nyatakan, “... Raja Haji bin Upu Daeng Celak merupakan pahlawan dunia Melayu yang terbesar atau teragung dan terhebat sesudah Hang Tuah....”
Walau bagaimanapun, haruslah kita sedar bahawa kisah Hang Tuah lebih bercorak mitos. Berbeza dengan Raja Haji. Kisah beliau tercatat sebagai sejarah yang dibuktikan dengan data dan fakta yang tidak dapat ditolak. Oleh itu jika ditinjau dari segi sejarah bererti ‘Raja Haji pahlawan dunia Melayu yang terbesar dan terhebat, bukan Hang Tuah.’
Kejadian aneh
Raja Ali Haji dalam Tuhfat an-Nafis meriwayatkan kejadian aneh terhadap jenazah Raja Haji setelah mangkat dalam keadaan syahid fisabilillah seperti berikut, “Syahdan adalah aku dapat khabar daripada itu daripada orang tua-tua yang mutawatir, adalah sebelum lagi ditanamnya mayat Yang Dipertuan Muda Raja Haji, al-Marhum itu, maka ditaruhnya di dalam peti hendak dibawanya ke Betawi, sudah sedia kapal akan membawa jenazah al-Marhum itu. Maka menantikan keesokan harinya sahaja, maka pada malam itu keluar memancar ke atas seperti api daripada peti jenazah al-Marhum Raja Haji itu. Maka gaduhlah orang Melaka itu melihatkan hal yang demikian itu. Di dalam tengah bergaduh itu kapal yang akan membawa jenazah al-Marhum itu pun meletup, terbakar, terbang ke udara segala isinya serta orang-orangnya. Seorang pun tiada yang lepas.
“Syahdan kata qaul yang mutawatir, tiadalah jadi dibawa jenazah al-Marhum itu pindah ke negeri yang lain. Maka ditanamkan jua di Melaka itu, hingga datang diambil dari negeri Riau adanya. Dan kata setengah qaul yang mutawatir sebab itulah digelar oleh Holanda yang dahulu-dahulu dengan nama Raja Api adanya....” (Tuhfat an-Nafis, Naskhah Terengganu, hlm. 151)
Pada pandangan saya riwayat di atas mencerminkan kemuliaan seseorang yang wafat dalam syahid fisabilillah kerana berjuang untuk kepentingan agama Islam atau memperjuangkan bangsanya, iaitu bangsa Melayu yang dicintainya. Perjuangan demikian mencerminkan kerana patuh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Oleh itu tulisan Abdullah Munsyi dalam buku Hikayat Abdullah yang mengatakan bahawa mayat Raja Haji ditanam tempat kandang babi perlu dipertikaikan dan dibahas secara ilmiah. Tulisan Abdullah Munsyi selengkapnya sebagai berikut, “Sebermula di balik kebun kompeni itulah ditanamkan Raja Haji. Iaitu seorang Raja Melayu yang berkuasa adanya. Asalnya iaitu keturunan Bugis. Maka isterinya bernama Ratu Emas. Maka ialah yang telah datang memerangi Melaka pada zaman Holanda – maka adalah daripada zaman itu sampai masa ini (maksudnya hingga masa Abdullah Munsyi menulis hikayatnya, pen:) kira-kira lebih sedikit daripada 60 tahun – maka hampir-hampir dapat Melaka olehnya. Maka berkeliling jajahan Melaka dan kampung-kampung semuanya sudah didapatnya melainkan tinggallah Melaka bulat-bulat sahaja yang belum didapatnya. Maka pada masa itu segala bangsa yang ada di dalam Melaka masuk perang melawan Holanda daripada Melayu, Keling, Cina, Serani masing-masing ada dengan kapitannya dan kepala perangnya. Maka adalah beberapa tahun diperanginya lalu matilah Raja Haji itu dimakan peluru di Tanjung Palas nama tempatnya. Kemudian diambil Holanda mayatnya itu ditanamkan di balik kebun yang tersebut itu. Ada pun khabarnya yang kudengar, tempat itu kandang babi. Kemudian ada kira-kira 20, 30 tahun di belakang datanglah anak buah-anak buah Raja Haji itu dari Lingga dan Riau ke Melaka meminta izin kepada raja Inggeris hendak dipindahkannya kubur itu ke Riau. Maka diberikanlah izin. Lalu dibawanyalah pergi....” (Hikayat Abdullah, hlm. 57 - 58)
Riwayat Abdullah Munsyi tentang Raja Haji ditanam di kandang babi adalah sukar diterima disebabkan: Pertama, jauh berbeza dengan yang ditulis oleh Raja Ali Haji seperti tersebut di atas. Kedua, orang yang wafat keadaannya syahid fisabilillah adalah dimuliakan oleh Allah s.w.t.. Dalam al-Quran disebutkan bahawa “orang-orang yang mati syahid adalah tidak mati, dalam kubur mereka diberi rezeki.” Dalam hadis Nabi s.a.w. pula sangat banyak menyebutkan kelebihan orang yang mati syahid. Pandangan saya ini bukan bererti menuduh Abdullah Munsyi telah melakukan pembohongan dalam tulisannya, kerana beliau sendiri menyebut pada awal kalimatnya, “Ada pun khabarnya yang kudengar”. Oleh itu pelbagai andaian boleh dibuat. Yang pertama, boleh jadi khabar yang didengar itu sengaja diproses oleh pembohong-pembohong daripada kalangan penguasa penjajah ketika itu untuk menghapuskan kebangkitan jihad orang-orang Melayu Islam yang tidak suka negerinya dijajah oleh golongan yang bukan Islam. Kedua, kemungkinan tekanan kuasa penjajah memaksa supaya Abdullah Munsyi menulis sedemikian. Oleh itu kita perlu berfikir dan teliti setiap kalimat dan perkataan yang ditulisnya.
Selain itu jika kita berfikir secara kritis dan membuat analisis secara bebas, khusus pada konteks di atas, memang banyak kalimat ataupun perkataan demi perkataan Abdullah Munsyi mengandung unsur-unsur politik yang menguntungkan pihak penjajah pada zamannya. Sebagai contoh, walaupun Abdullah Munsyi mengakui bahawa Raja Haji adalah seorang Raja Melayu, namun pada sambungan kalimat Abdullah Munsyi menyebut pula bahawa asal Raja Haji adalah keturunan Bugis. Kenapa Abdullah Munsyi tidak menyebut Raja Haji dari sebelah ibunya adalah keturunan Melayu. Di sini dapat diduga, jika disebut Raja Haji orang Melayu semangat orang Melayu untuk berpihak kepada Raja Haji sukar dipadamkan